Minggu, 26 Desember 2010

Mereduki Toksin dengn Protein

Mereduksi Toksin dengan Protein
31 Okt 2008 13:21



--------------------------------------------------------------------------------

Petani di Indonesia kerap menggunakan pestisida untuk membasmi hama tanaman. Padahal, itu amat berbahaya bagi kesehatan. Untuk meminimalisasi racun yang terkandung dalam pestisida, dapat digunakan enzim.

Pestisida merupakan alat untuk mengontrol hama tanaman dan organisme yang tidak disukai atau merugikan tanaman pertanian. Namun, di balik keefektifannya, zat pembasmi ini mengandung toksin atau racun. Akumulasi residu atau endapan pestisida di lahan pertanian dapat mengakibatkan keracunan bagi konsumen produk pertanian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya residu kadar pestisida yang tinggi pada beberapa produk pertanian, seperti beras, sayuran, dan aneka buah-buahan.

Senyawa pestisida bersifat pulotan organik yang bandel atau persistence organic pollutant (POP). POP bersifat bioakumulatif, biomagnifikatif, dan biokonsentratif sehingga konsentrasinya dapat bertahan lama dalam suatu organisme bukan sasaran (nontarget), sangat membahayakan, misalnya pada manusia.

Residu pestisida pada lahan pertanian Indonesia diperkirakan kondisinya telah mencapai ambang yang membahayakan. Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar agar residu pestisida yang ada bisa terdegradasi.

Menurut Nina Hermayani Sadi, peneliti enzim dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor, limbah pestisida yang banyak ditemui pada lahan pertanian dapat didegradasi kadar racunnya (toksid) dengan cara memanfaatkan biokatalis berupa enzim. Enzim yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut dapat mendegradasi racun pestisida pada lahan pertanian hingga kadarnya berkurang.

Menurut Mari Ulfah, Asisten Peneliti pada bagian Rekayasa Genetika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada dasarnya enzim merupakan protein yang berfungsi menjadi katalis dalam proses biokimia. Dengan biokatalis dari enzim proses reaksi kimia menjadi lebih cepat dibandingkan dengan reaksi kimia biasa.

Ia mengatakan sifat enzim yang bekerja hanya pada substrat atau bahan dasar yang spesifik memberi peluang baru untuk memanfaatkannya dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya, terdapat tiga jenis aplikasi enzimatis, yaitu untuk menghasilkan, mendeteksi, dan mendegradasi senyawa tertentu.

Amobilisasi

Nina menambahkan agar proses degradasi lebih murah, enzim tersebut harus dilakukan amobilisasi terlebih dahulu. Tujuan proses ini agar enzim bisa dipakai berulang kali sehingga tidak memboroskan biaya. ?Proses kimia dengan mempergunakan enzim saat ini memang masih mahal,? katanya.

Amobilisasi dapat mencegah terbukanya lipatan-pilatan protein enzim, dengan begitu aktivitas enzim dapat berkerja secara maksimal. ?Atau dengan kata lain dengan amobilitas enzim akan dapat meningkatkan kestabilan struktur enzim sehingga dapat bekerja berulang kali,? ujar Nina.
Lebih jauh ia mengatakan enzim amobil merupakan enzim yang dilokalisasi atau diikat dalam suatu bahan penyangga. Bahan penyangga bisa berupa papan atau membran tertentu untuk mempertahankan kemampuan aktivitas katalisnya, sehingga dapat dipergunakan berulang kali.

Saat ini, dikenal tiga macam metode amobilisasi enzim, yaitu dengan metode absorpsi, metode ikatan silang, dan metode penyerapan. Metode absorpsi merupakan metode yang sangat sederhana. Metode ini menggunakan permukaan padat untuk menyerap atau menempelkan enzim di atas permukaan dengan memanfaatkan bahan padat sebagai tempat menyerap enzim. Bahannya bisa berupa alumina, bentonit, anion selulosa, resin, kaca, dan lainnya.

Metode ikatan silang merupakan merupakan metode amobilisasi dengan memadukan metode absorpsi dan multifungsi pengikatan lain sehingga akan terbentuk ikatan silang yang lebih baik. Enzim kemudian terikat kuat sehingga tidak larut dalam air.

Sedangkan metode penjerapan atau entrapment, merupakan metode yang memanfaatkan perbedaan ukuran antara subtrat, produk, dan biokatalis. Biokatalis akan tertahan dalam sebuah ruangan matrik, sementara subtrat dan biokatalis dapat bergerak bebas. ?Secara sederhana metode penyerapan enzim dilakukan dengan mencampurkan enzim ke dalam bahan pelarut yang mudah dipadatkan,? katanya.

Nina memberi catatan, pemilihan bahan penyangga amobilisasi harus berdasarkan pada aktivitas biokatalis, yaitu struktur, aktivitas enzim, metode amobilisasi yang digunakan, dan kondisi proses amobilisasi.

Proses Degradasi

Proses digradasi limbah pestisida dengan memanfaatkan enzim tidak mudah. Satu hal yang perlu dicatat, kata Nina, dalam penanganan limbah pestisida secara enzimatis, sistem yang dikembangkan harus melalui tahap pengajian yang teliti sehingga tidak diperoleh hasil yang tidak diharapkan.

Nina mengatakan tidak semua jenis pestisida dapat dihidrolisis dengan menggunakan satu jenis biokatalis enzim. Namun, proses ini bergantung jenis pestisida, jenis mikroba, dan media pembiakan tempat berkembangnya bakteri tersebut sebelum dapat diigunakan. ?Harus ditentukan dulu jenis pestisidanya, jenis mikroba yang tumbuh pada lahan pertanian yang akan didegradasi dengan enzim,? katanya.

Untuk menentukan enzim penghidrolisis pestisida pada lahan pertanian, yang perlu dilakukan adalah dengan menentukan jenis mikroba. Untuk itu yang perlu dicari terlebih dahulu mikroba yang hidup pada lahan pertanian tersebut. Bakteri yang didapat, kemudian dibiakkan dalam media yang mengadung pestisida tertentu. Tujuannya supaya bakteri ini bisa tahan terhadap zat beracun ini. Dalam media ini mikroba kemudian menghasilkan enzim kasar yang akan dimurnikan dan selanjutnya diamobilisasi.

Untuk menghidrolisi jenis pestisida herbisida fenilkarbamat, misalnya, maka jenis yang digunakan adalah jenis enzim yang dihasilkan oleh mikroba dari genus Arthrobacter (Arthrobacter sp). Caranya dengan membiakkan mikroba ini dalam medium diklorofenosiastet terlebih dahulu. Setelah proses ini, enzim baru bisa dipakai untuk menghidrolisi herbisida jenis fenol terklorinasi.
Demikian juga untuk jenis pestisida fenil karbamat digunakan jenis mikroba dari jenis genus Peseudomonas. Mikroba ini dibiakkan dalam dalam herbisida fenilkarbamat dan akhirnya dapat digunakan untuk menghidrolisis beberapa pestisida golongan fenil seperti karbamat dan asilanilida.
Setelah enzim ini jadi maka bisa digunakan dalam lahan pertanian. Bila berbentuk pelet enzim bisa ditaburkan di atas lahan pertanian. Tapi bila berbentuk cair maka enzim dapat dicampurkan di dalam larutan penyaring, untuk menghidrolisis air yang mengandung pestisida pada lahan pertanian yang bersama dengan proses penyaringan air
Ezim mempunyai keunggulan dalam mendegradasi pestisida, karena biokatalis ini bisa digunakan dalam suhu ruang dan pH netral. Reaksi enzimatis tidak memerlukan bahan kimia konvensional sehingga ramah lingkungan. Bahan kimia biasa untuk mendegradasi kadang berbahaya karena menghasilkan efek samping.

Keuntungan lain reaksi enzimatis, pada saat degradasi tidak terpengaruh oleh toksisitas limbah yang ada dibanding dengan cara biologis menggunakan tanaman air. Enzim juga mampu menghasilkan reaksi yang bersih yang tidak berefek samping lantaran memunyai kekhususan pada struktur molekul pembentuknya. (hay/L-4)

Ditulis Oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Senin, 20 Desember 2010

Menguak Fenomena Pembelokan Kali Opak


Menguak Fenomena Pembelokan Kali Opak


Sabtu, 18 Desember 2010

Pembentukan gurun pasir, pergeseran lempeng tektonik, meletusnya gunung berapi, dan tsunami merupakan contoh-contoh fenomena geologi yang selalu menarik untuk dikaji. Peristiwa-peristiwa alam itu pun telah banyak diteliti dan dianalisis oleh para ahli. Namun, dari sekian banyak fenomena alam yang terjadi, ada satu fenomena yang luput dari kajian para ahli, yakni pembelokan muara Sungai Opak.

Sebenarnya, peristiwa berbeloknya air Kali Opak, Yogyakarta ketika hendak bermuara ke Samudra Hindia terbilang unik. Pasalnya, apabila dibandingkan dengan “sifat” aliran air dari muara sungai pada umumnya, peristiwa yang terjadi di Kali Opak bisa dikatakan sebagai anomali. Biasanya, ketika sungai bermuara ke pantai memiliki persimpangan tegak lurus dengan bibir pantai. Sedimentasi atau endapan yang dihasilkan dari peristiwa itu tidak akan menimbulkan pembelokan, tetapi hanya memunculkan delta-delta.

Seperti diketahui, muara sungai merupakan tempat bertemunya arus pasang surut air laut dengan air sungai yang saling berlawanan. Kondisi itu akan memberi pengaruh kuat pada proses sedimentasi. Pada kasus Kali Opak, sedimentasi material tersebut mengakibatkan terjadinya pembelokan aliran air ke arah barat atau kanan. Fenomena tersebut bisa diketahui dari hasil rekaman citra satelit. Fenomena yang sama tampak pula di Kali Progo di Kulon Progo, Kali Bogowonto di Purworejo, dan Kali Serayu di Cilacap yang berada di bagian selatan Pulau Jawa dan berhadapan dengan Samudra Hindia.

Peristiwa pembelokan muara sungai itu telah menarik perhatian dua peneliti muda, Yan Restu Freski dan Darmadi dari Taman Pintar Science Club, Yogyakarta. Kedua finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2010 itu kemudian mengaji penyebab terjadinya fenomena alam tersebut. Rasa penasaran kedua peneliti muda itu semakin tinggi manakala melihat sungai di timur Bantul, Yogyakarta yang juga berhadapan dengan Samudra Hindia tidak mengalami pembelokan.

Demikian pula halnya dengan sungaisungai yang berada di bagian barat Cilacap, Jawa Tengah. “Pembelokan hanya terjadi antara wilayah Bantul sampai Cilacap,” kata Yan. Yan dan Darmadi lantas meneliti fenomena pembelokan sungai itu dengan berlandaskan teori terjadinya pembelokan menandakan adanya gangguan pada sistem aliran air. Mereka pun mengaji faktor-faktor yang kemungkinan terlibat dalam pertemuan antara arus sungai dan laut.

Beberapa faktor itu antara lain angin, pantai, gelombang, muara sungai, musim, dan arus sungai. Baik Yan maupun Darmadi menduga faktor-faktor ter sebut menjadi penyebab berbeloknya aliran Sungai Opak. Yan yang masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Geo logi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan Darmadi, mahasiswa Fakultas Ilmu Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), melanjutkan penelitian mereka dengan melakukan studi lapangan.

Tujuan studi lapangan itu untuk mengamati kondisi geomorfologi, sampel sedimen, dan proses sedimentasi. Pengamatan sampel sedimen dilakukan dengan metode granulometri, yaitu metode untuk menganalisis ukuran butir-butir sedi men. Yan mengatakan butir-butir sedimen berperan dalam proses pembentukan sedimen dan deposisi sedimen. Berdasarkan kajian di lapangan yang disajikan dengan cara deskriptif analitis, diketahui mereka berhasil menemukan faktor yang menjadikan arus Su ngai Opak berbelok ke arah barat daya.

Pengaruh Angin

Salah satu faktor penyebab pembelokan itu adalah arah angin yang dominan bertiup dari arah tenggara dan menyudut menghantam muara kali. “Pada Desember hingga Februari angin itu mulai menurun. Bahkan, pada Maret angin bertiup dari arah barat ke tenggara,” papar Yan. Angin yang bertiup lebih kuat dikatakan sangat memengaruhi pembelokan aliran sungai karena angin itu mendorong gelombang laut (swash).

Gelombang laut yang menyudut dengan bibir pantai dan muara yang membujur dari tenggara ke barat menimbulkan longshore drift atau gerakan zig-zag sedimen di sepanjang pantai. Pada kasus Kali Opak gerakan zig-zag yang terjadi dari arah tenggara dan barat laut serta dari arah barat laut menghasilkan sedimen yang memanjang dari timur ke barat.

Adapun gerakan zig-zag yang berasal dari tenggara menghasilkan sedimen lebih banyak dibandingkan dengan gerakan zig-zag yang berasal dari arah barat. Hal itu disebabkan gerakan zig-zag di bagian tenggara lebih lama dibandingkan gerakan zig-zag di bagian arah barat. Di bagian tenggara, gerakan tersebut terjadi sejak April hingga November dan didukung pula oleh suplai sedimen yang kontinu di muara Kali Opak.

“Sementara longshore drift dari barat hanya terjadi selama dua bulan, dari Januasi hingga Maret dan tidak banyak berpengaruh dalam mengembalikan arus muara Sungai Opak,” ujar Yan yang pernah memenangi Lomba Penelitian Remaja (LPIR) Kementerian Pendidikan Nasional. Adanya sedimen dari arah pantai yang dihasilkan oleh gera kan zig-zag itu menyebabkan tidak terjadinya proses sedimentasi di Sungai Opak.

Arus air sungai yang membawa sedimen dari daratan terhalang oleh sedimen dan berbelok ke kanan. Pembelokan itu membuat posisi muara Kali Opak menjadi miring dengan bibir pantai. Sedimen dari arah pantai yang dihasilkan longshore drift kemudian terakumulasi bersama dengan endapan dari Sungai opak. Hal itu dibuktikan Yan melalui metode granulometri sampel sedimen pada titik sedimen antara bibir pantai dan Sungai Opak yang berbelok. Sampel sedimen Sungai Opak memiliki komposisi pasir dan kerikil dalam ukuran yang tidak seragam dengan warna terang.

Sementara, sedimen yang berada di bibir pantai berupa pasir gelap dengan butiran halus berukuran sama. Lebih jauh Yan menjelaskan butiran sedimen juga memengaruhi terjadinya pembelokan muara kali. Di Kali Opak, Kali Progo, Kali Bogowonto, dan Kali Serayu terjadi pembelokan karena sedimensedimennya bertekstur lembut.

Sementara di sungai yang berada di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta, tidak terjadi pembelokan karena sedimennya berupa batuan kapur berukuran besar. Yan menambahkan pembelokan pada Kali Opak bukan pula disebabkan oleh adanya arus yang kuat. Pasalnya, arus yang ada tidak cukup kuat untuk bergerak lurus ke pantai sebagai akibat dari landainya kontur daratan di wilayah itu.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Rabu, 15 Desember 2010

Helm Lebih Kuat dengan Pola Jaring Laba-laba


Rabu, 24 Nopember 2010


Bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah, sepeda motor merupakan wahana transportasi andalan untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Banyak orang beranggapan dengan mengendarai sepeda motor pengeluaran bisa lebih dihemat ketimbang menggunakan kendaraan umum.

Selain karena alasan penghematan, maraknya sepeda motor di jalan-jalan juga dikarenakan semakin banyaknya tawaran kredit kepemilikan kendaraan roda dua tersebut. Bahkan, masyarakat dimanjakan dengan fasilitas cicilan kredit yang ringan. Karenanya, tidak heran jika pertumbuhan sepeda motor terus meningkat dari tahun ke tahun.

Seiring pertambahan sepeda motor yang lalu lalang di jalan raya, risiko kecelakaan lalu lintas pun semakin tinggi. Badan Kesehatan Dunia PBB (World Health Organization/ WHO) mencatat jumlah korban yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor di dunia mencapai 1,2 juta orang per tahun. Dari hasil analisis diketahui kebanyakan korban yang meninggal mengalami luka di kepala.

Selain mengakibatkan kematian, kecelakaan tersebut juga kerap menyebabkan korban mengalami cacat tubuh. Khusus di Indonesia, angka kecelakaan sepeda motor setiap tahunnya mengalami peningkatan. Mengacu data, setidaknya pada 2009 terjadi 6.608 kasus kecelakaan.

Dari jumlah total korban, sekitar 88 persen korban mengalami luka di kepala dan mengakibatkan kematian serta cacat fisik. Dengan merujuk kondisi tersebut, pemerintah melalui SK Menteri Per industrian Nomor 40/M-IND/ Per/6/2008 mewajibkan pembuatan helm ber-Standar Nasional Indonesia (SNI). Begitu pula halnya dengan pengendara kendaraan roda dua, wajib memakai helm bertanda SNI.

Persyaratan itu di mak sudkan demi meningkatkan ke amanan dan keselamatan dalam ber kendara bagi pengendara motor. Berdasarkan alasan keamanan dan keselamatan itu pula, dua peneliti muda, Irene Giarto dan Jessica Cleine, tertarik untuk membuat helm dengan bahan yang kuat. Setelah melakukan beberapa riset, kedua finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) tahun 2010 itu akhirnya membuat helm dari serat berpola jaring laba-laba.

Helm yang kuat dan memenuhi standar keamanan mesti memenuhi beberapa ketentuan, di antaranya memiliki daya serap terhadap daya kejut dan penetrasi yang baik, memiliki tingkat keefektifan sistem penahan yang tinggi, memiliki sistem penahan dengan tali pemegang yang kuat, lolos uji ketahanan tali dari pergeseran dan keausan, lolos uji dampak miring, memiliki pelindung dagu, serta lolos uji ketahanan material dari panas.

Irene dan Jessica, keduanya masih tercatat sebagai pelajar kelas II SMA Santa Laurensia, Serpong, Tangerang, Banten, itu kemudian mencoba menemukan materi yang kuat tetapi ringan dari bahan alami untuk membentuk struktur komposit. Keduanya juga berupaya untuk memanfaatkan serat alami sebagai bahan dasar helm. Pertimbangan mereka, berdasarkan aturan, bahan helm hendaknya tidak terbuat dari logam.

Selain itu, helm juga harus dapat ditempatkan di ruang terbuka dengan suhu 55 derajat celcius, tidak terpengaruh oleh radiasi sinar ultraviolet, tidak boleh lapuk, dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit. Untuk bahan helm, Irene dan Jessica memilih menggunakan resin. Resin merupakan bahan yang berwujud kental sepertim lem dengan warna bening atau hitam.

Bahan yang dipakai campuran antara resin epoxy dan resin herdaner sebagai penguat. Namun yang menjadi masalah, untuk memperkuat campuran resin itu harus dikombinasikan dengan serat sebagai kerangka helm, seperti halnya pada beton bertulang. “Struktur akan menambah kekuatan bahan komposit ketika menjadi helm nantinya,” ujar Irene.

Dia menjelaskan ada tiga pilihan pola anyaman yang dipakai sebagai bahan struktur untuk helm, yaitu anyaman bakul, anyaman tikar, dan anyaman berbentuk jaring laba-laba. Pola anyaman bakul terbukti kuat dipakai sebagai wadah untuk beberapa bahan pertanian. Sementara pola anyaman tikar selang-seling juga kuat dipakai untuk tikar sebagai alas tidur dan kasur.

Adapun pola anyaman jaring laba-laba, kekuatannya masih belum banyak diuji. Serat Tumbuhan Serat untuk bahan helm diambil dari tumbuhan sisal (Agave sisalana), yaitu sejenis tanaman nanas. Tanaman tersebut memiliki serat kuat pada daunnya yang panjang dan berduri. Serat sisal memiliki warna krem cenderung putih.

Apabila diraba, serat itu sedikit kaku ketimbang serat lainnya. Serat sisal memiliki keunggulan dari sisi kekuatan dan tahan terhadap air laut sehingga cocok digunakan sebagai tali. Kedua peneliti remaja itu kemudian membuat komposisi antara resin dan pola anyaman di dalamnya.

Caranya, pertama, resin dimasukkan ke dalam cetakan berukuran 15 X 15 sentimeter dengan ketebalan 5 milimeter. Selanjutnya, campuran resin dan resin hardener dimasukkan bersamaan, kemudian serat digelar di atas resin. Proses berikutnya, resin penutup dituangkan di atasnya. “Campuran ditekan dengan kekuatan tangan saja agar memadat.

Campuran akan memadat dan kering setelah 4 sampai 5 jam. Pada saat itulah bahan komposit dinyatakan jadi,” terang Jessica. Untuk mengatahui kekuatan bahan komposit itu, Irene dan Jessica mencoba melakukan pengujian dengan menggunakan peluru pejal.

Mereka menguji 25 pola, setiap pola terdiri dari 5 sampel uji dengan peluru pejal yang dijatuhkan dari ketinggian sekitar 1 meter. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui tingkat penetrasi area kerusakan. Berat peluru pejal pada beban awal sebesar 1,33 kilogram. Berat itu terus ditambah sebesar 100 gram setiap kali pengujian.

Jadi, hingga 10 kali pengujian, berat peluru pejal bisa mencapai 2,33 kilogram. Pada beban seberat itu, papan komposit mengalami beberapa kerusakan. Hasil uji coba penyerapan energi potensial yang diterima atau diserap papan komposit dengan pola anyaman tikar memiliki kekuatan rata-rata 9 joule. Jenis anyaman bakul memiliki kekuatan penyerapan 15 joule, dan pola anyaman jaring laba-laba berkekuatan 15 joule.

Berdasarkan hasil uji coba pula diketahui kerusakan pada pola anyaman tikar mencapai 0,0035 meter persegi. Sementara pada pola bakul kerusakannya mencapai 0,0025 meter persegi dan pola jaring laba-laba hanya 0,001 meter persegi. Grafik tingkat penetrasi penetrasi rata-rata dari papan komposit pola anyaman tikar 0,035 meter, pola anyaman bakul 0,045 meter, dan pola anyaman sarang laba-laba 0,030 meter.

Dari hasil uji kekuatan itu Irene menyimpulkan ternyata pola anyaman sarang laba-laba memiliki kekuatan lebih bagus ketimbang pola tikar dan bakul. Bukan hanya itu, penyerapan energi potensial dari benturan juga lebih baik. Tingkat penetrasi papan pejal terhadap bahan berpola anyaman sarang labalaba pun diketahui paling kecil.

Namun demikian, baik Irene maupun Jessica, belum puas dengan hasil tersebut karena alat uji yang mereka gunakan masih sederhana. Oleh karena itu, keduanya berencana untuk melakukan uji coba dengan alat yang lebih bagus untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kerusakan bahan.

Setelah proses uji coba yang lebih akurat dilakukan, Irene dan Jessica merekomendasikan agar pola anyaman sarang laba- laba dibuat menjadi serat dalam pembuatan helm.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mengurangi Emisi Kendaraan dengan Kotak Pembersih Sederhana

   

  




Senin, 13 Desember 2010


Gas buang dari hasil pembakaran kendaraan bermotor merupakan faktor penyebab polusi yang paling dominan, terutama di kotakota besar. Hal itu dikarenakan penggunaan kendaraan bermotor di kota-kota besar jauh lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Lazim diketahui pertambahan jumlah kendaraan bermotor akan berpengaruh signifikan terhadap kadar gas buang atau emisi yang dihasilkan dari bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan-kendaraan tersebut. Setiap kendaraan bermotor umumnya menghasilkan gas sulfur dioksida (SO2), nitrogenoksida (N2O), nitrogenmonoksida (NO), karbondioksida (CO2), karbonmonoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan timbal (Pb) dalam jumlah yang bisa dikatakan tidak sedikit.

Gas-gas itu tergolong sebagai gas emisi yang berdampak buruk bagi lingkungan serta mengganggu kesehatan manusia. Apabila gas-gas sisa hasil pembakaran kendaraan bermotor itu terhirup pernapasan, manusia pun akan mengalami pusing, mata pedih, gangguan reproduksi pada pria dan gangguan pada paruparu. Selain itu emisi juga dapat menyebabkan penurunan kecerdasan pada anak dan penyakit infeksi saluran pernapasan atas. Dampak buruk gas buang terhadap kesehatan itu menimbulkan keprihatinan dalam diri Muhammad Imam Muhtar Sidik dan Agustina Slamet.

Kedua pelajar SMKN 2 Depok, Sleman, Yogyakarta itu pun tergerak untuk berinovasi membuat alat sederhana penyerap emisi. Pada prinsipnya, alat tersebut dibuat untuk mengurangi kadar gas buang pada saat kendaraan berhenti atau statis. Sebagai contoh, kendaraan tengah diperbaiki di bengkel dan mesin kendaraan tengah diuji coba oleh montir. Hal yang menjadi persoalan, ketika mesin motor diuji coba, asap kendaraan akan berputarputar di sekitar lokasi uji coba atau bengkel.

Menurut Imam kondisi tersebut sangatlah berbahaya mengingat sangat tingginya kadar polutan yang terkandung dalam asap hasil pembakaran kendaraan tersebut. Bisa dibayangkan, seorang mon tir yang sehari-harinya bekerja di bengkel dan berhadapan dengan banyak kendaraan bermotor akan terpapar emisi, salah satunya emisi karbon dalam jumlah besar. Oleh karena itu, kata Imam, dia bersama Agustina mencoba mengembangkan alat pengurang emisi yang dapat diaplikasikan di bengkel-bengkel.

Imam mengklaim, pengaplikasian perangkat pengurang emisi hasil kreasi dirinya dengan rekannya itu akan mendatangkan beberapa manfaat, di antaranya dapat mengurangi efek pemanasan global, mewujudkan bengkel ramah lingkungan, melindungi montir, khususnya dan masyarakat pada umumnya dari bahaya gas buang. Alat yang diberi nama “kotak pembersih emisi” itu bekerja berdasarkan prinsip penyerapan, yaitu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan, maupun gas terikat pada suatu zat penyerap.

Imam dan Agustina pun lantas memilih bahan penyerap berupa oli bekas, arang aktif, dan zeolit untuk mengikat emisi. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga kotak tertutup yang berbeda-beda.

Tiga Fase

Proses penyaringan gas buang dilakukan dalam tiga fase. Fase pertama, gas buang dari knalpot kendaraan bermotor disalurkan ke dalam tabung pertama yang berisi oli bekas. Proses itu dibantu dengan kipas yang diletakkan sebelum tabung. Tujuannya, untuk memperlancar proses penyaluran emisi ke dalam tabung berisi oli.

“Emisi akan turun ke oli dengan bantuan gravitasi gas buang,” jelas Agustina. Lebih jauh siswi kelas 12 jurusan Mesin itu menerangkan pada fase pertama tersebut oli bekas akan menyerap timbal yang merupakan gas hasil pembakaran kendaraan bermotor. Selanjutnya, pada fase kedua gas buang akan masuk ke dalam kotak tertutup berisi arang aktif dari batok kelapa. Arang aktif pun akan menjerap sulfurdioksida, nitrogenoksida, nitrogenmonoksida, karbondioksida, karbonmonoksida, dan hidrokarbon.

Arang aktif dikenal berdaya serap tinggi karena memiliki permukaan yang luas. Satu gram arang aktif memiliki permukaan seluas 500 meter persegi. Jadi, pengisian tabung dengan beberapa kilogram arang aktif dinilai mampu menyerap senyawa-senyawa penyebab polusi yang terkandung di dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Selain kotak berisi oli bekas dan arang aktif, ada pula kotak yang berisi batuan zeolit.

Zeolit merupakan batuan yang memiliki pori-pori berukuran kecil sehingga dapat memisahkan atau menyaring molekul. Pada proses itu zeolit akan mengikat arang aktif yang terbawa bersama dengan emisi ketika masuk pada tabung kedua. Batuan itu juga dapat mengikat arang aktif karena sifatnya yang mudah melepas kation atau ion bermuatan positif dan diganti dengan kation lain. Sebagai contoh, melepas natrium kemudian ion tersebut diganti oleh kalsium.

Berdasarkan hasil uji coba perangkat pengurang emisi yang diaplikasikan pada motor Honda Su pra X 125, diketahui terjadi penururan kadar emisi secara signi fi kan. Ketika motor tidak dilengkapi alat penyaring emisi, kadar gas karbonmonoksida mencapai 3,29 persen dan kadar gas karbondioksida men capai 2,16 persen. Adapun kadar hidrokarbonnya mencapai 3033 part per million (ppm) dan tidak ada kandungan air.

Sementara itu, motor yang telah dilengkapi kotak pembersih emisi menghasilkan 0,68 persen karbonmonoksida, 0,43 persen karbondioksida, hidrokarbon sebesar 671 ppm, dan air sebanyak 19,64 persen. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan uji coba pada motor Honda Vario keluaran tahun 2008 dan Yamaha Fiz R. Dari penelitian yang dilakukan kedua inovator remaja itu diperoleh kesimpulan, pada Honda Supra X 125 terjadi penurunan emisi karbonmonoksida hingga 79,3 persen, karbondioksida 83,52 persen, dan hidrokarbon sebanyak 77,88 persen.

Sementara Honda Vario 2008 mengalami penurunan karbonmo noksida sebesar 76,9 persen, karbondioksida 62,9 persen, dan hidrokarbon 51,23 persen. Pada Yamaha Fiz R, penurunan karbonmonoksida mencapai 41,2 persen, karbondioksida 41,28 persen, dan hidrokarbon sebesar 44,89 persen. “Kemampuan kotak pembersih emisi dalam menyerap gas-gas buang, semisal karbondioksida terbilang cukup baik.

Hal itu bisa dibandingkan dengan mengacu pada standar emisi karbondioksida yang diperbolehkan ialah 2,50 persen,” kata Imam. Finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menambahkan, secara ekonomi pembuatan satu kotak pembersih emisi yang dapat menampung lima knalpot sekaligus itu terbilang murah, hanya 129 ribu rupiah. Biaya yang relatif murah tersebut dikarenakan semua bahan untuk membuat perangkat berasal dari barang-barang bekas.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mengadang Kanker Payudara dengan Ciplukan

  
 Rabu, 15 Desember 2010
Bagi kaum hawa, kanker payudara merupakan momok yang sangat menakutkan. Betapa tidak, penyakit itu sering kali datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui sebelumnya. Tidak sedikit kaum perempuan yang tiba-tiba divonis menderita kanker payudara stadium lanjut, padahal sebelumnya mereka tidak merasakan tanda-tanda “aneh” pada organ payudara. Ironisnya, jumlah penderita kanker payudara cenderung meningkat dari tahun-tahun. Di Indonesia, kaum perempuan yang menderita penyakit itu terbilang banyak, bahkan jumlahnya menduduki posisi kedua setelah penderita kanker leher rahim.

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), diketahui pada 2007 tercatat 8.227 kasus kanker payudara. Angka tersebut lebih besar ketimbang tahun sebelumnya yang hanya 5.786 kasus. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa angka penyebaran penyakit itu masih tinggi. Salah satu penyebab tingginya tingkat penyebaran kanker payudara adalah belum ditemukannya obat untuk mencegah penyakit tersebut.

Selama ini, obat-obatan yang ada fungsinya bukan preventif, melainkan mengobati penyakit yang telanjur diderita pasien. Sebagai contoh, untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker penderita mesti menjalani kemoterapi. Kondisi itulah yang lantas mendorong Ameilinda Monikawati, mahasiswi jurusan Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yog yakarta, untuk mencari obat pen cegah kanker payudara. Dia berharap obat tersebut nantinya dapat “membentengi” para perempuan dari ancaman penyakit mematikan itu.

Menurut Ameilinda, obat pencegah kanker payudara tersebut bisa berupa agen kemopreventif. “Agen itu bermanfaat untuk mengurangi risiko kanker sekaligus sebagai terapi kombinasi dalam pengobatan kanker,” ujar dia. Selama ini, metode penyembuhan kanker payudara yang umum dilakukan adalah kemoterapi. Sayangnya, metode tersebut masih menyisakan beberapa persoalan.

Agen kemoterapi doxorubicin sebagai satu-satunya agen penyembuh ternyata menimbulkan efek samping terhadap pasien, seperti mual, muntah, serta adanya toksisitas pada jaringan normal dan jantung. Selain itu, doxorubicin juga menekan sistem imun dan resistensi pada sel kanker itu sendiri. Melihat persoalan tersebut, Amel, begitu peneliti muda itu biasa dipanggil, beranggapan diperlukan agen ko kemoterapi bagi pasien yang menjalani proses kemoterapi. Agen tersebut akan berperan meningkatkan efikasi dan menurunkan toksisitas pada tubuh pasien.

Peningkatan efikasi dan penurunan toksisitas tersebut dapat pula mencegah penyebaran sel dan memicu apoptosis, yakni proses pembuangan sel yang tidak diperlukan oleh tubuh secara alami. Dalam memilih agen pencegah kanker payudara tersebut memang diperlukan penelitian yang intensif. Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa sejumlah tanaman memiliki senyawa-senyawa yang berpotensi mencegah kanker.

Salah satu jenis tanaman yang dianggap mujarab sebagai agen tersebut ialah ciplukan (Physalis angulata L). Ciplukan diketahui memiliki efek sitotoksik atau mampu menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Menghambat Penyebaran Tanaman tersebut juga memiliki efek antipoliferasi atau penyebaran sel-sel kanker, memicu pertumbuhan sel G2/M arrest, mendorong terjadinya apoptosis pada sel kanker payudara MDA-MB231, serta memiliki efek antihepatoma sel hati manusia seperti Hep G2, Hep 3B, dan PCL/PRF/5.

Amel yang juga anggota Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Farmasi, UGM, itu menuturkan ciplukan mampu mengatasi kanker karena mengandung fi salin B dan D. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui fisalin B dan F yang diisolasi dari herba ciplukan dapat menghambat pertumbuhan beberapa sel leukemia atau kanker darah. Cairan kloroform pada ciplukan selama ini terbukti pula mampu menghambat sel ade nokarsinoma paru-paru NCIH23.

Untuk memastikan ciplukan dapat dipakai sebagai fitofarma-ka atau tanaman obat pencegah dan pengobat kanker payu dara, Amel melakukan serangkaian penelitian. Dia menguji aktivitas sitotoksik ekstra etanolik herba ciplukan (EHC) pada sel kanker payudara secara in vivo dan in vitro. Secara in vivo Amel meneliti sel kanker payudara yang ada pada tubuh tikus betina sprague dawley yang dinduksikan dengan 7,12 dimetilbenz[a]antrasena (DMBA). Sementara itu, pada in vitro, dia menggunakan sel kanker payudara MCF-7 dan T47D koleksi dari CCRC.

Adapun sel tersebut berasal dari Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Uji in vitro dilakukan dengan menginduksi kanker payudara MCF-7 dan T47D yang ditumbuhkan di dalam media kultur. Sel itu lalu diinkubasi dengan EHC selama 24 jam dengan metode MTT Assay. Dari hasil pengamatan setelah tahap uji coba diketahui terjadi reaksi sel kanker dengan EHC. Selain itu, terjadi pula ektivitas sitotoksik dari EHC terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan T47D.

Pada saat dosis konsentrasi EHC ditingkatkan, terjadi kematian sel yang semakin tinggi atau mencapai angka 20 persen karena apoptosis. Efek apoptosis ditandai dengan adanya perubahan morfologi sel, kondensasi kromatin, dan fragmentasi nukleus. Untuk menandai kematian sel dilakukan pengecatan, yaitu permeasi oleh akridin oranye pada sitoplasma. Dengan cara itu sel kanker yang hidup akan tampak hijau dengan inti sel utuh dan sel yang mati akan berwarna merah.

Pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya aktivitas apoptosis yang ditunjukkan dengan inti sel yang utuh dan berfluoresensi hijau. Hasil pengecatan itu membuktikan EHC mampu menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7 karena hasil pengecatan menunjukkan adanya warna merah pada sel. Pada kondisi normal sel kanker memiliki struktur berbentuk daun, namun ketika sel mengalami kematian bentuknya berubah menjadi bulat dan semakin kabur.

“Sel yang tampak lebih bulat dan mengapung menandakan sel tersebut mati,” jelas Amel. Demi mendapatkan hasil yang lebih meyakinkan, Amel yang melakukan penelitian bersama-sama dengan dua rekannya di jurusan Farmasi, Sofa Farida dan Inna Armandari, menguji coba secara in vivo pada tikus. Pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan EHC dengan konsentrasi 100 μg/mL terlihat adanya aktivitas apoptosis. Hal itu ditandai dengan perubahan warna inti sel dari hijau ke jingga dengan kromatin terfragmentasi atau terkondensasi.

Sementara itu, pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya aktivitas apoptosis yang ditunjukkan dengan inti sel yang utuh dan berfl uoresensi hijau. Hasil pengecatan Hematoslin dan Eosin itu membuktikan bahwa EHC mampu menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7 dan T47D. “Pemberian EHC pada sel MCF-7 dan T47D menunjukkan adanya fenomena dose dependent, persentase sel yang hidup semakin menurun seiring dengan peningkatan dosis,” pungkas Amel.

Atas hasil penelitiannya itu Amel pun berhak menyandang gelar sebagai juara I lomba Kompetisi Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) ke-9 2010 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Rabu, 17 November 2010

Mengurai Limbah Jadi Gas dengan Mikrokontroler

08 Mar 2010
Teknologi mikrokontroler membantu mengurai limbah dan konversi menjadi gas. Aplikasi ini mengurangi kegagalan proses yang lama dan rumit.

Limbah, suatu zat sisa hasil produksi industri kecil maupun besar yang sudah tidak terpakai lagi, kerap mencemari lingkungan. Tidak jarang pula pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah itu membahayakan kesehatan manusia karena kandungan racun di dalamnya.
Ada tiga macam bentuk limbah, yakni padat, cair, dan gas. Ketiganya, terutama dalam kadar konsentrasi dan kuantitas serta frekuensi tinggi, dapat membahayakan lingkungan apabila dibuang begitu saja tanpa ditangani terlebih dahulu.Oleh karena itu, beragam upaya ditempuh untuk mengurai kadar racun, bahkan mengurai limbah agar dapat dimanfaatkan kembali.
Berlian Sitorus, peneliti limbah dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, mengatakan dirinya prihatin dengan pembuangan limbah industri tahu yang banyak terdapat di kotanya. I nn bah-limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu itu sering kali dibuang begitu saja tanpa proses degradasi racun terlebih dahulu.

Limbah tahu dianggap berbahaya bagi lingkungan karena mengandung senyawa metana 50 hingga 80 persen, dan sisanya berupa gas karbondioksida, hidrogensulfida, serta air. Senyawa-senyawa itu, kata Berlian, jika dibuang ke sungai, akan mencemari air sungai, dan jika dibiarkan, akan menguap sehingga bisa mencemari udara."Pemilik pabrik tahu membuang limbah ke sungai begitu saja sehingga membahayakan lingkungan di sepanjang aliran sungai di Pontianak," ujarnya.
Lebih lanjut, Berlian menuturkan memang sebelum limbah dibuang, dilakukan proses degradasi terlebih dahulu. Biasanya proses yang dijalankan ialah proses aerobik, sebuah proses penguraian limbah dengan melibatkan oksigen (02).Namun, sayangnya, untuk mendapatkan hasil yang ideal, proses penguraian limbah secara aerobik itu dianggap belum cukup. Proses tersebut menghilangkan potensi limbah untuk dijadikan energi biogas.

Padahal dengan mengonversi limbah tahu menjadi biogas, para pemilik pabrik tahu bisa mendapatkan tambahan energi. Selain itu, mereka turut menjaga kelestarian lingkungan dengan mengurangi limbah yang terbuang dan mengurangi penggunaan bahari bakar fosil.
Sejauh ini, pengolahan limbah tahu menjadi biogas dilakukan dalam tiga tahap, yaitu an-aerobik, aerobik, dan fUtrasi. Keseluruhan proses pengolahan yang dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia itu diawasi dengan ketat Dibutuhkan kecermatan serta waktu sekitar dua hari untuk mengawasi proses tersebut.Proses pengontrolan tersebut tanpa keterlibatan manusia.
Pada skala uji coba, Berlian mengatakan pada proses pertama mikrokontroler mengaktifkan pompa dari penampungan air limbah setelah terjadi kekosongan air. Air limbah disedot ke bak penampungan yang letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan bak lainnya.Bak penampung limbah berukuran tinggi 40 sentimeter dan diameter 22 sentimeter. Kemudian air limbah itu dialirkan ke bawah dengan menggunakan pompa.

Pada bak penampungan itu, dilakukan proses anaerobik. Bak ditutup rapat, dan limbah diaduk dengan motor. Pengadukan dilakukan dengan memperhatikan perbedaan tingkat putaran pengadukan. Setiap satu jam limbah diaduk selama satu menit.
Pengadukan secara teratur itu akan menghasilkan gas. Biogas selanjutnya ditampung di sebuah gelas besar khusus dan bisa dimanfaatkan sebagai bahari bakar tambahan dalam pembuatan tahu, misalnya ketika perebusan dan penggorengan.
Setelah proses anaerobik selesai, dilakukan proses aerobik. Tahap itu dilakukan agar limbah dapat tentu saja memerlukan tenaga manusia. Belum lagi prosesnya yang rumit berpeluang mengakibatkan kegagalan jika pengawasan dilakukan oleh orang yang belum paham benar. "Tidak aneh jika proses ini sering gagal," terang Berlian.

Tanpa Manusia

Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan proses otomatisasi. Berlian kemudian bekerja sama dengan Seno Darmawan Panjaitan, dosen teknik elektro Universitas Tanjungpura, Pontianak, untuk mengaplikasikan teknologi otomatisasi tersebut.
Teknologi yang menghilangkan keterlibatan manusia itu bertujuan mencegah kegagalan proses penguraian limbah menjadi gas. Pada penelitian yang dibiayai oleh Yayasan Toray Science Indonesia itu, proses otomatisasi menggunakan mikrokontroler.

Seperti komputer, mikrokontroler dapat mengerjakan instruk-si-instruksi yang diberikan. Tentu sebelumnya mikrokontroler telah diprogram terlebih dahulu. Seno mengatakan mikrokontroler yang dipakai ialah dari jenis AT89S52.
Nantinya, mikrokontroler mengatur jalannya proses pengolahan limbah, mulai dari anaerobik, aerobik, hingga fii trasi.Caranya dengan memutuskan perintah dan memulai perintah lagi dengan mematikan dan menghidupkan aliran listrik yang ada. Dengan memasang beberapa sensor, proses itu dapat berjalan dibuang ke sungai dalam kondisi aman. Prosesnya, air dipompakan ke bak terbuka. Air limbah diaduk dengan motor listrik.

Tujuannya agar terjadi aerasi atau pengisian udara di permukaan bak. Pada tahap tersebut terjadi biodegradasi oleh sekumpulan bakteri, antara lain Bacillus subtilis sebagai bakteri paling dominan. Langkah berikutnya adalah proses filtrasi atau penyaringan.
Air akan mengalir ke bak filtrasi. Proses filtrasi dilakukan dengan memakai bahan-bahan yang dapat menyaring kotoran, seperti pasir, batu kerikil, ijuk, dan karbon (arang). Setelah melewati filtrasi, air dapat dibuang dengan aman ke sungai.
Ada beberapa parameter yang bisa menunjukkan apakah limbah sudah aman dibuang atau belum, yaitu chemical oxygen demand (COD)-nya turun hingga 91,5 persen, total suspended solid (TSS) 97,3 persen, dan volatile suspended solid (VSS) 97,3 persen."Agar tetap pada angka ini, ba-han penyaring sebaiknya diganti setelah tiga bulan dipakai. Maksudnya supaya air yang keluar dapat tetap jernih dan aman," kata Seno. hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mutasi “Plasmodium” Kurangi Sensitivitas Obat Malaria

     
  Jumat, 18 Juni 2010 02:00    
     
     

Mutasi mengakibatkan Plasmodium penyebab penyakit malaria lebih resisten terhadap obat. Diperlukan obat baru yang bisa mengatasi serangan Plasmodium yang telah bermutasi tersebut.

   
         
  Malaria merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara-negara tropis, termasuk Indonesia.

Penyakit tersebut termasuk berbahaya karena sering kali menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (The Household Survey) yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO), pada 2001 diketahui 38 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat terserang penyakit malaria.

Tercatat pula setiap 30 detik satu bayi atau anak meninggal dunia akibat terserang malaria.

Di Indonesia, penyakit malaria diperkirakan menginfeksi sekitar 15 juta orang setiap tahunnya.

Pada umumnya, mereka yang terserang malaria akan mengalami penurunan produktivitas.

Penderita tidak akan dapat bekerja dalam jangka waktu 5 sampai 14 hari selama masa pengobatan.

Berdasarkan hasil penemuan Charles Louis Aplphone, penyakit malaria disebabkan oleh serangan protozoa atau parasit Plasmodium.

Parasit itu hidup bersama inangnya, nyamuk Anopheles dan hewan vertebrata (bertulang belakang).

Parasit tersebut tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan. Beberapa hewan yang juga bisa terjangkiti malaria antara lain kera, burung, jenis reptil, dan hewan pengerat.

Astutiati Nurhasanah, peneliti dari Pusat Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menjelaskan beberapa Plasmodium yang dulu hanya mejangkiti hewan kini dapat pula menyerang manusia.

Hasil penelitian tahun 2008 menunjukkan bahwa Plasmodium knowlesi telah menjangkiti sebagian masyarakat di negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia.

“Pada 2008 diketahui Plasmodium knowlesi telah menginfeksi pula manusia,” katanya.

Astutiati menambahkan Plasmodium yang merupakan organisme berukuran kecil bisa berkembang dan berubah melalui mutasi seleksi dan adaptasi.

Organisme itu juga resisten terhadap obat tertentu.

Buktinya, ketika seorang penderita malaria diberi obat malaria, tingkat sensitivitasnya terhadap obat tersebut menurun.

Pada 1970, misalnya, Plasmodium falciparum yang merupakan penyebab penyakit malaria cerebral dapat diobati dengan obat jenis cloro dan klorokuin.

Namun, Plasmodium falciparum lamakelamaan mulai resisten terhadap kedua obat itu.

Hasil penelitian Astutiati menunjukkan parasit itu memililiki tingkat sensitivitas yang menurun terhadap quinine atau kinin.

Kinin merupakan zat alkaloid dari kulit pohon kina yang sejak dulu dikenal dapat dipakai untuk mengobati malaria.

Sebelumnya, WHO pernah melarang penggunaan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

Pertimbangannya, kinin bisa mengakibatkan efek samping berupa gangguan pendengaran, sakit perut, mual, dan pusing yang dirasakan pasien.

Sebagai gantinya, WHO merekomendasikan pemberian klorokuin dan pyrimethanmine yang berasal dari bahan sintetis.

Kombinasi klorokuin, pamaquine, quinacrine (atebrine), serta sulfadoksin dengan pyrimethamin, primaquine, doxycycline, artemisin, dan turunan nya dianggap bisa menggantikan fungsi kinin.

Resistensi Meningkat

Sayangnya, Plasmodium falciparum belakangan resisten terhadap obat-obatan tersebut.

Oleh karena itu, WHO pun kini menganjurkan para dokter untuk kembali menggunakan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral, meskipun dengan risiko ada efek samping bagi pasien.

Pengobatan terhadap pasien penderita penyakit malaria cerebral harus segera dilakukan.

Pasalnya, penyakit itu dinilai sangat berbahaya karena menyerang otak. Ketika terserang Plasmodium falciparum, otak akan mengalami kelumpuhan, dan hal tersebut berisiko menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui penurunan tingkat sensitivitas Plasmodium falciparum disebabkan oleh keluarnya beberapa target makanan atau vakola dari semacam membran parasit tersebut.

Target berupa vakola mengalami mutasi dan keluar dari wilyahnya.

“Keluarnya vakola lantaran adanya perubahan dalam muatan ionnya,” papar Astutiati.

Pada kondisi normal, asam amino gen K76T memiliki muatan positif dan netral.

Asam amino K, yaitu lysine, bermuatan positif, sementara asam amino T, yaitu threonine, bermuatan netral.

Keluarnya vakola dari wilayahnya karena asam amino threonine yang bermuatan netral berubah menjadi positif.

Akibatnya, vakola satu per satu keluar dari membran karena adanya gaya tolak-menolak antarkutub positif tersebut.

Kondisi itu mengakibatkan obat yang selama ini ditargetkan pada vakola makanan menjadi tidak tepat.

Alhasil, obat malaria, termasuk kinin, tidak dapat mencapai target yang ditetapkan.

Astutiati mengatakan ketika vakola makanan berada di luar, kinin tidak dapat membunuhnya.

Penyandang gelar doktor dari Universitas Heidelberg, Jerman, itu menambahkan adanya mutasi yang terjadi pada Plasmodium bisa menghambat upaya pemberantasan penyakit malaria.

Menanggapi perihal mutasi tersebut, Abdul Salam, ahli genetika dari Universitas YARSI, Jakarta, menjelaskan sebenarnya manusia, khususnya yang hidup di daerah tropis, telah mengalami mutasi untuk menghadapi serangan Plasmodium tersebut.

Lewat prosedur mutasi, seleksi, adaptasi, dan kembali ke mutasi lagi dan seterusnya, manusia akan berusaha bertahan terhadap serangan malaria.

Pada masyarakat di kawasan Asia Tenggara, dikenal istilah South East Asian Ovalocytosis, yaitu kemampuan menghadapi serangan Plasmodium penyebab penyakit malaria.

Beberapa orang di Asia Tenggara memiliki sel darah merah berbentuk lonjong, bukan bulat.

Menurut hasil penelitian, sel darah merah berbentuk lonjong yang dikenal dengan sebutan ovalocytosis itu terbukti tahan terhadap serangan penyakit malaria.

Meski tahan terhadap serangan malaria, sel darah tersebut memiliki kele mahan, yakni mudah terkena anemia.

Anemia ialah suatu kondisi saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel da rah merah berada di bawah normal.

Astutiati mengatakan saat ini belum diketahui dengan pasti mekanisme kerja Plasmodium falciparum yang mengakibatkan terjadinya perubahan muatan ion.

Namun, dia menduga hal itu berkaitan dengan sistem transportasi kinin ke dalam vakola.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sistem transportasi tersebut.

Lebih lanjut, Astutiati mengatakan sebenarnya sekarang ini obat sintetis dapat digunakan untuk mengobati penyakit malaria cerebral.

Namun, harga obat itu masih terbilang mahal sehingga sulit dijangkau masyarakat umum.

Padahal, mereka yang terjangkit penyakit malaria umumnya tinggal di daerah pelosok yang kehidupan perekonomiannya terbilang sulit.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Memproduksi Biodiesel dengan Enzim

 



Senin, 07 September 2009


Di tengah krisis bahan bakar yang berasal dari fosil, banyak penelitian dilakukan untuk menemukan energi alternatif.

Pencarian energi alternatif yang ramah lingkungan diharapkan mampu menjadi solusi atas kelangkaan energi yang terjadi akhir-akhir ini.

Belakangan, bahan bakar biodiesel menjadi salah satu jawaban dari permasalahan kelangkaan energi itu.

Biodiesel merupakan bahan bakar yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, semisal sawit, jarak, atau bunga matahari.

Setelah melalui proses pengolahan yang panjang, tumbuhan-tumbuhan itu akan menghasilkan minyak yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.

Biodiesel selama ini diartikan sebagai bahan bakar dari campuran mono alkyl ester yang berasal dari rantai panjang asam lemak.

Untuk membuat biodiesel, diperlukan bahan-bahan seperti minyak goreng atau minyak jelantah, metanol, dan soda api (NaOH).

Sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, banyak dimanfaatkan minyak goreng bekas pakai atau jelantah.

Pertimbangannya, kedua bahan itu mengandung asam lemak bebas yang tidak baik bagi kesehatan sehingga tidak selayaknya digunakan untuk keperluan konsumsi.

Ketika minyak digunakan untuk menggoreng bahan makanan, terjadi peristiwa oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam.

Proses itu bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan. Selain tidak baik bagi kesehatan, asam lemak bebas dapat menjadi ester jika bereaksi dengan metanol. Apabila bereaksi dengan soda, asam lemak akan membentuk sabun.

Produk biodiesel harus dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa metanol, dan soda. Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat menghidrolisis dan memecah biodiesel menjadi asam lemak bebas yang kemudian terlarut dalam biodiesel.

Asam lemak bebas dalam biodiesel tidak baik karena dapat menyumbat filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin diesel.

Selama ini, pembuatan biodiesel dalam skala kecil menggunakan katalis berupa soda api.

Contohnya, untuk penggunaan minyak goreng (baik baru maupun bekas) sebanyak satu liter, diperlukan metanol sebanyak 200 mililiter, soda api sebanyak 3,5 gram untuk minyak goreng baru, dan sebanyak 4,5 gram soda api-bisa juga lebih-untuk minyak goreng bekas.

Untuk memperoleh biodiesel, soda api dilarutkan ke dalam metanol.

Larutan itu lalu dipanaskan dalam suhu sekitar 55 derajat celcius dan diaduk dengan kecepatan tinggi selama 15 hingga 20 menit. Selanjutnya larutan itu dibiarkan selama 12 jam.

Setelah 12 jam, akan terlihat larutan berwarna jernih kekuning-kuningan pada bagian atasnya. Pada lapisan di bawahnya, terdapat asam lemak bebas dan bahan sabun dari sisa metanol yang tidak bereaksi.

Larutan pada bagian atas yang berwarna kekuning-kuningan itu kemudian dipisahkan dengan cara menuangkannya ke tempat lain dengan menyisakan unsur gliserin dan bahan pembuat sabun.

Menurut Achmadin Luthfi, peneliti bioproses dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), cara pemisahan itu dipandang terlalu konvensional dan tidak efektif. Katalis berupa soda api masih menghasilkan limbah berupa gliserin dan bahan baku sabun sehingga belum ramah lingkungan.

Sekarang ini, ada motede baru dalam pembuatan biodiesel, yaitu dengan memanfaatkan enzim sebagai biomolekul yang berfungsi sebagai katalis.

Katalis adalah senyawa yang mempercepat reaksi dan si katalis itu sendiri tidak habis bereaksi. Enzim yang dipakai dalam reaksi pembuatan biodiesel adalah enzim lipase atau enzim pemecah lemak. Enzim itu dapat mengatalisis, menghidrolisis, serta menyintesis bentuk ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang seperti halnya minyak goreng dan jelantah.

Berbeda dengan katalis soda api yang masih menghasilkan limbah, katalis enzim tidak menghasilkan limbah.

Pasalnya, dengan menggunakan enzim lipase, asam lemak bebas akan larut dan menjadi biodiesel. “Yang diperlukan hanya menyaring kotoran-kotoran berupa kerak yang sering ada, khususnya pada minyak jelantah,” kata Luthfi.

Untuk membuat biodiesel dengan katalis enzim lipase, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menyiapkan enzim lipase ke dalam sebuah penampang berupa membran tertentu.

Dalam beberapa uji coba, Achmadin menggunakan dua filter lipase sebagai katalisnya.

Filter pertama digunakan untuk menyaring 60 persen kotoran, dan sisa kotoran yang sebanyak 40 persen disaring oleh filter kedua. Alhasil, total kotoran yang berhasil disaring mencapai 100 persen. “Enzim saya tempelkan di filter.

Ketika minyak lewat, berarti telah menjadi biodiesel,” jelasnya.

Filter dari bahan setipis kertas itu digunakan untuk jangka waktu tiga hari dengan kapasitas penyaringan sebanyak satu liter.

Jangka waktu yang terbilang pendek itu disebabkan Luthfi masih mengkhawatirkan kalau-kalau enzim hasil percobaannya akan larut.

Nantinya proses itu diperbesar, dan jangka waktu penggunaan filter diperpanjang sesuai dengan umur keefektifan enzim melakukan proses katalisis yang umumnya mencapai enam bulan.

Percobaan itu ternyata masih teradang persoalan harga enzim yang cukup mahal.

Sekarang ini harga enzim masih berkisar satu juta hingga tiga juta rupiah per kilogram. Untuk filter berukuran satu meter persegi, dibutuhkan tiga gram enzim.

Mengenai sumber minyak bekas yang menjadi salah satu bahan biodiesel, Luthfi menerangkan minyak bekas dapat diperolah dari restoran-restoran cepat saji, hotel-hotel berbintang, dan industri makanan.

Penggunaan minyak bekas dari tempat-tempat itu dimaksudkan agar sumber bahan pembuat biodiesel tidak mengganggu industri pangan.

Lebih jauh, Luthfi mengatakan setelah proses penelitiannya selesai, hasilnya dapat dengan mudah digunakan masyarakat.

Pasalnya, teknik katalisasi enzim terbilang sederhana sehingga bisa dilakukan oleh masyarakat awam. Hanya menggunakan tabung penyaring yang telah diberi enzim, maka teknik penyaringan dapat dilakukan dengan mudah.

Menurut Luthfi, potensi pembuatan biodiesel oleh masyarakat pun terbuka lebar.

Dengan membeli enzim filter, masyarakat dapat membuat pabrik pengolahan biodiesel sendiri.

“Enzim filter nantinya bisa dijual ke desa-desa,” ujarnya. Biodiesel nantinya bisa digunakan bukan hanya untuk kendaraan bermesin diesel, tetapi juga bisa sebagai bahan pelumas.
(hay/L-2)
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta