Rabu, 17 November 2010

Mengurai Limbah Jadi Gas dengan Mikrokontroler

08 Mar 2010
Teknologi mikrokontroler membantu mengurai limbah dan konversi menjadi gas. Aplikasi ini mengurangi kegagalan proses yang lama dan rumit.

Limbah, suatu zat sisa hasil produksi industri kecil maupun besar yang sudah tidak terpakai lagi, kerap mencemari lingkungan. Tidak jarang pula pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah itu membahayakan kesehatan manusia karena kandungan racun di dalamnya.
Ada tiga macam bentuk limbah, yakni padat, cair, dan gas. Ketiganya, terutama dalam kadar konsentrasi dan kuantitas serta frekuensi tinggi, dapat membahayakan lingkungan apabila dibuang begitu saja tanpa ditangani terlebih dahulu.Oleh karena itu, beragam upaya ditempuh untuk mengurai kadar racun, bahkan mengurai limbah agar dapat dimanfaatkan kembali.
Berlian Sitorus, peneliti limbah dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, mengatakan dirinya prihatin dengan pembuangan limbah industri tahu yang banyak terdapat di kotanya. I nn bah-limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu itu sering kali dibuang begitu saja tanpa proses degradasi racun terlebih dahulu.

Limbah tahu dianggap berbahaya bagi lingkungan karena mengandung senyawa metana 50 hingga 80 persen, dan sisanya berupa gas karbondioksida, hidrogensulfida, serta air. Senyawa-senyawa itu, kata Berlian, jika dibuang ke sungai, akan mencemari air sungai, dan jika dibiarkan, akan menguap sehingga bisa mencemari udara."Pemilik pabrik tahu membuang limbah ke sungai begitu saja sehingga membahayakan lingkungan di sepanjang aliran sungai di Pontianak," ujarnya.
Lebih lanjut, Berlian menuturkan memang sebelum limbah dibuang, dilakukan proses degradasi terlebih dahulu. Biasanya proses yang dijalankan ialah proses aerobik, sebuah proses penguraian limbah dengan melibatkan oksigen (02).Namun, sayangnya, untuk mendapatkan hasil yang ideal, proses penguraian limbah secara aerobik itu dianggap belum cukup. Proses tersebut menghilangkan potensi limbah untuk dijadikan energi biogas.

Padahal dengan mengonversi limbah tahu menjadi biogas, para pemilik pabrik tahu bisa mendapatkan tambahan energi. Selain itu, mereka turut menjaga kelestarian lingkungan dengan mengurangi limbah yang terbuang dan mengurangi penggunaan bahari bakar fosil.
Sejauh ini, pengolahan limbah tahu menjadi biogas dilakukan dalam tiga tahap, yaitu an-aerobik, aerobik, dan fUtrasi. Keseluruhan proses pengolahan yang dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia itu diawasi dengan ketat Dibutuhkan kecermatan serta waktu sekitar dua hari untuk mengawasi proses tersebut.Proses pengontrolan tersebut tanpa keterlibatan manusia.
Pada skala uji coba, Berlian mengatakan pada proses pertama mikrokontroler mengaktifkan pompa dari penampungan air limbah setelah terjadi kekosongan air. Air limbah disedot ke bak penampungan yang letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan bak lainnya.Bak penampung limbah berukuran tinggi 40 sentimeter dan diameter 22 sentimeter. Kemudian air limbah itu dialirkan ke bawah dengan menggunakan pompa.

Pada bak penampungan itu, dilakukan proses anaerobik. Bak ditutup rapat, dan limbah diaduk dengan motor. Pengadukan dilakukan dengan memperhatikan perbedaan tingkat putaran pengadukan. Setiap satu jam limbah diaduk selama satu menit.
Pengadukan secara teratur itu akan menghasilkan gas. Biogas selanjutnya ditampung di sebuah gelas besar khusus dan bisa dimanfaatkan sebagai bahari bakar tambahan dalam pembuatan tahu, misalnya ketika perebusan dan penggorengan.
Setelah proses anaerobik selesai, dilakukan proses aerobik. Tahap itu dilakukan agar limbah dapat tentu saja memerlukan tenaga manusia. Belum lagi prosesnya yang rumit berpeluang mengakibatkan kegagalan jika pengawasan dilakukan oleh orang yang belum paham benar. "Tidak aneh jika proses ini sering gagal," terang Berlian.

Tanpa Manusia

Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan proses otomatisasi. Berlian kemudian bekerja sama dengan Seno Darmawan Panjaitan, dosen teknik elektro Universitas Tanjungpura, Pontianak, untuk mengaplikasikan teknologi otomatisasi tersebut.
Teknologi yang menghilangkan keterlibatan manusia itu bertujuan mencegah kegagalan proses penguraian limbah menjadi gas. Pada penelitian yang dibiayai oleh Yayasan Toray Science Indonesia itu, proses otomatisasi menggunakan mikrokontroler.

Seperti komputer, mikrokontroler dapat mengerjakan instruk-si-instruksi yang diberikan. Tentu sebelumnya mikrokontroler telah diprogram terlebih dahulu. Seno mengatakan mikrokontroler yang dipakai ialah dari jenis AT89S52.
Nantinya, mikrokontroler mengatur jalannya proses pengolahan limbah, mulai dari anaerobik, aerobik, hingga fii trasi.Caranya dengan memutuskan perintah dan memulai perintah lagi dengan mematikan dan menghidupkan aliran listrik yang ada. Dengan memasang beberapa sensor, proses itu dapat berjalan dibuang ke sungai dalam kondisi aman. Prosesnya, air dipompakan ke bak terbuka. Air limbah diaduk dengan motor listrik.

Tujuannya agar terjadi aerasi atau pengisian udara di permukaan bak. Pada tahap tersebut terjadi biodegradasi oleh sekumpulan bakteri, antara lain Bacillus subtilis sebagai bakteri paling dominan. Langkah berikutnya adalah proses filtrasi atau penyaringan.
Air akan mengalir ke bak filtrasi. Proses filtrasi dilakukan dengan memakai bahan-bahan yang dapat menyaring kotoran, seperti pasir, batu kerikil, ijuk, dan karbon (arang). Setelah melewati filtrasi, air dapat dibuang dengan aman ke sungai.
Ada beberapa parameter yang bisa menunjukkan apakah limbah sudah aman dibuang atau belum, yaitu chemical oxygen demand (COD)-nya turun hingga 91,5 persen, total suspended solid (TSS) 97,3 persen, dan volatile suspended solid (VSS) 97,3 persen."Agar tetap pada angka ini, ba-han penyaring sebaiknya diganti setelah tiga bulan dipakai. Maksudnya supaya air yang keluar dapat tetap jernih dan aman," kata Seno. hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mutasi “Plasmodium” Kurangi Sensitivitas Obat Malaria

     
  Jumat, 18 Juni 2010 02:00    
     
     

Mutasi mengakibatkan Plasmodium penyebab penyakit malaria lebih resisten terhadap obat. Diperlukan obat baru yang bisa mengatasi serangan Plasmodium yang telah bermutasi tersebut.

   
         
  Malaria merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara-negara tropis, termasuk Indonesia.

Penyakit tersebut termasuk berbahaya karena sering kali menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (The Household Survey) yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO), pada 2001 diketahui 38 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat terserang penyakit malaria.

Tercatat pula setiap 30 detik satu bayi atau anak meninggal dunia akibat terserang malaria.

Di Indonesia, penyakit malaria diperkirakan menginfeksi sekitar 15 juta orang setiap tahunnya.

Pada umumnya, mereka yang terserang malaria akan mengalami penurunan produktivitas.

Penderita tidak akan dapat bekerja dalam jangka waktu 5 sampai 14 hari selama masa pengobatan.

Berdasarkan hasil penemuan Charles Louis Aplphone, penyakit malaria disebabkan oleh serangan protozoa atau parasit Plasmodium.

Parasit itu hidup bersama inangnya, nyamuk Anopheles dan hewan vertebrata (bertulang belakang).

Parasit tersebut tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan. Beberapa hewan yang juga bisa terjangkiti malaria antara lain kera, burung, jenis reptil, dan hewan pengerat.

Astutiati Nurhasanah, peneliti dari Pusat Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menjelaskan beberapa Plasmodium yang dulu hanya mejangkiti hewan kini dapat pula menyerang manusia.

Hasil penelitian tahun 2008 menunjukkan bahwa Plasmodium knowlesi telah menjangkiti sebagian masyarakat di negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia.

“Pada 2008 diketahui Plasmodium knowlesi telah menginfeksi pula manusia,” katanya.

Astutiati menambahkan Plasmodium yang merupakan organisme berukuran kecil bisa berkembang dan berubah melalui mutasi seleksi dan adaptasi.

Organisme itu juga resisten terhadap obat tertentu.

Buktinya, ketika seorang penderita malaria diberi obat malaria, tingkat sensitivitasnya terhadap obat tersebut menurun.

Pada 1970, misalnya, Plasmodium falciparum yang merupakan penyebab penyakit malaria cerebral dapat diobati dengan obat jenis cloro dan klorokuin.

Namun, Plasmodium falciparum lamakelamaan mulai resisten terhadap kedua obat itu.

Hasil penelitian Astutiati menunjukkan parasit itu memililiki tingkat sensitivitas yang menurun terhadap quinine atau kinin.

Kinin merupakan zat alkaloid dari kulit pohon kina yang sejak dulu dikenal dapat dipakai untuk mengobati malaria.

Sebelumnya, WHO pernah melarang penggunaan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

Pertimbangannya, kinin bisa mengakibatkan efek samping berupa gangguan pendengaran, sakit perut, mual, dan pusing yang dirasakan pasien.

Sebagai gantinya, WHO merekomendasikan pemberian klorokuin dan pyrimethanmine yang berasal dari bahan sintetis.

Kombinasi klorokuin, pamaquine, quinacrine (atebrine), serta sulfadoksin dengan pyrimethamin, primaquine, doxycycline, artemisin, dan turunan nya dianggap bisa menggantikan fungsi kinin.

Resistensi Meningkat

Sayangnya, Plasmodium falciparum belakangan resisten terhadap obat-obatan tersebut.

Oleh karena itu, WHO pun kini menganjurkan para dokter untuk kembali menggunakan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral, meskipun dengan risiko ada efek samping bagi pasien.

Pengobatan terhadap pasien penderita penyakit malaria cerebral harus segera dilakukan.

Pasalnya, penyakit itu dinilai sangat berbahaya karena menyerang otak. Ketika terserang Plasmodium falciparum, otak akan mengalami kelumpuhan, dan hal tersebut berisiko menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui penurunan tingkat sensitivitas Plasmodium falciparum disebabkan oleh keluarnya beberapa target makanan atau vakola dari semacam membran parasit tersebut.

Target berupa vakola mengalami mutasi dan keluar dari wilyahnya.

“Keluarnya vakola lantaran adanya perubahan dalam muatan ionnya,” papar Astutiati.

Pada kondisi normal, asam amino gen K76T memiliki muatan positif dan netral.

Asam amino K, yaitu lysine, bermuatan positif, sementara asam amino T, yaitu threonine, bermuatan netral.

Keluarnya vakola dari wilayahnya karena asam amino threonine yang bermuatan netral berubah menjadi positif.

Akibatnya, vakola satu per satu keluar dari membran karena adanya gaya tolak-menolak antarkutub positif tersebut.

Kondisi itu mengakibatkan obat yang selama ini ditargetkan pada vakola makanan menjadi tidak tepat.

Alhasil, obat malaria, termasuk kinin, tidak dapat mencapai target yang ditetapkan.

Astutiati mengatakan ketika vakola makanan berada di luar, kinin tidak dapat membunuhnya.

Penyandang gelar doktor dari Universitas Heidelberg, Jerman, itu menambahkan adanya mutasi yang terjadi pada Plasmodium bisa menghambat upaya pemberantasan penyakit malaria.

Menanggapi perihal mutasi tersebut, Abdul Salam, ahli genetika dari Universitas YARSI, Jakarta, menjelaskan sebenarnya manusia, khususnya yang hidup di daerah tropis, telah mengalami mutasi untuk menghadapi serangan Plasmodium tersebut.

Lewat prosedur mutasi, seleksi, adaptasi, dan kembali ke mutasi lagi dan seterusnya, manusia akan berusaha bertahan terhadap serangan malaria.

Pada masyarakat di kawasan Asia Tenggara, dikenal istilah South East Asian Ovalocytosis, yaitu kemampuan menghadapi serangan Plasmodium penyebab penyakit malaria.

Beberapa orang di Asia Tenggara memiliki sel darah merah berbentuk lonjong, bukan bulat.

Menurut hasil penelitian, sel darah merah berbentuk lonjong yang dikenal dengan sebutan ovalocytosis itu terbukti tahan terhadap serangan penyakit malaria.

Meski tahan terhadap serangan malaria, sel darah tersebut memiliki kele mahan, yakni mudah terkena anemia.

Anemia ialah suatu kondisi saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel da rah merah berada di bawah normal.

Astutiati mengatakan saat ini belum diketahui dengan pasti mekanisme kerja Plasmodium falciparum yang mengakibatkan terjadinya perubahan muatan ion.

Namun, dia menduga hal itu berkaitan dengan sistem transportasi kinin ke dalam vakola.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sistem transportasi tersebut.

Lebih lanjut, Astutiati mengatakan sebenarnya sekarang ini obat sintetis dapat digunakan untuk mengobati penyakit malaria cerebral.

Namun, harga obat itu masih terbilang mahal sehingga sulit dijangkau masyarakat umum.

Padahal, mereka yang terjangkit penyakit malaria umumnya tinggal di daerah pelosok yang kehidupan perekonomiannya terbilang sulit.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Memproduksi Biodiesel dengan Enzim

 



Senin, 07 September 2009


Di tengah krisis bahan bakar yang berasal dari fosil, banyak penelitian dilakukan untuk menemukan energi alternatif.

Pencarian energi alternatif yang ramah lingkungan diharapkan mampu menjadi solusi atas kelangkaan energi yang terjadi akhir-akhir ini.

Belakangan, bahan bakar biodiesel menjadi salah satu jawaban dari permasalahan kelangkaan energi itu.

Biodiesel merupakan bahan bakar yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, semisal sawit, jarak, atau bunga matahari.

Setelah melalui proses pengolahan yang panjang, tumbuhan-tumbuhan itu akan menghasilkan minyak yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.

Biodiesel selama ini diartikan sebagai bahan bakar dari campuran mono alkyl ester yang berasal dari rantai panjang asam lemak.

Untuk membuat biodiesel, diperlukan bahan-bahan seperti minyak goreng atau minyak jelantah, metanol, dan soda api (NaOH).

Sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, banyak dimanfaatkan minyak goreng bekas pakai atau jelantah.

Pertimbangannya, kedua bahan itu mengandung asam lemak bebas yang tidak baik bagi kesehatan sehingga tidak selayaknya digunakan untuk keperluan konsumsi.

Ketika minyak digunakan untuk menggoreng bahan makanan, terjadi peristiwa oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam.

Proses itu bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan. Selain tidak baik bagi kesehatan, asam lemak bebas dapat menjadi ester jika bereaksi dengan metanol. Apabila bereaksi dengan soda, asam lemak akan membentuk sabun.

Produk biodiesel harus dimurnikan dari produk samping, gliserin, sabun sisa metanol, dan soda. Sisa soda yang ada pada biodiesel dapat menghidrolisis dan memecah biodiesel menjadi asam lemak bebas yang kemudian terlarut dalam biodiesel.

Asam lemak bebas dalam biodiesel tidak baik karena dapat menyumbat filter atau saringan dengan endapan dan menjadi korosi pada logam mesin diesel.

Selama ini, pembuatan biodiesel dalam skala kecil menggunakan katalis berupa soda api.

Contohnya, untuk penggunaan minyak goreng (baik baru maupun bekas) sebanyak satu liter, diperlukan metanol sebanyak 200 mililiter, soda api sebanyak 3,5 gram untuk minyak goreng baru, dan sebanyak 4,5 gram soda api-bisa juga lebih-untuk minyak goreng bekas.

Untuk memperoleh biodiesel, soda api dilarutkan ke dalam metanol.

Larutan itu lalu dipanaskan dalam suhu sekitar 55 derajat celcius dan diaduk dengan kecepatan tinggi selama 15 hingga 20 menit. Selanjutnya larutan itu dibiarkan selama 12 jam.

Setelah 12 jam, akan terlihat larutan berwarna jernih kekuning-kuningan pada bagian atasnya. Pada lapisan di bawahnya, terdapat asam lemak bebas dan bahan sabun dari sisa metanol yang tidak bereaksi.

Larutan pada bagian atas yang berwarna kekuning-kuningan itu kemudian dipisahkan dengan cara menuangkannya ke tempat lain dengan menyisakan unsur gliserin dan bahan pembuat sabun.

Menurut Achmadin Luthfi, peneliti bioproses dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), cara pemisahan itu dipandang terlalu konvensional dan tidak efektif. Katalis berupa soda api masih menghasilkan limbah berupa gliserin dan bahan baku sabun sehingga belum ramah lingkungan.

Sekarang ini, ada motede baru dalam pembuatan biodiesel, yaitu dengan memanfaatkan enzim sebagai biomolekul yang berfungsi sebagai katalis.

Katalis adalah senyawa yang mempercepat reaksi dan si katalis itu sendiri tidak habis bereaksi. Enzim yang dipakai dalam reaksi pembuatan biodiesel adalah enzim lipase atau enzim pemecah lemak. Enzim itu dapat mengatalisis, menghidrolisis, serta menyintesis bentuk ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang seperti halnya minyak goreng dan jelantah.

Berbeda dengan katalis soda api yang masih menghasilkan limbah, katalis enzim tidak menghasilkan limbah.

Pasalnya, dengan menggunakan enzim lipase, asam lemak bebas akan larut dan menjadi biodiesel. “Yang diperlukan hanya menyaring kotoran-kotoran berupa kerak yang sering ada, khususnya pada minyak jelantah,” kata Luthfi.

Untuk membuat biodiesel dengan katalis enzim lipase, hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menyiapkan enzim lipase ke dalam sebuah penampang berupa membran tertentu.

Dalam beberapa uji coba, Achmadin menggunakan dua filter lipase sebagai katalisnya.

Filter pertama digunakan untuk menyaring 60 persen kotoran, dan sisa kotoran yang sebanyak 40 persen disaring oleh filter kedua. Alhasil, total kotoran yang berhasil disaring mencapai 100 persen. “Enzim saya tempelkan di filter.

Ketika minyak lewat, berarti telah menjadi biodiesel,” jelasnya.

Filter dari bahan setipis kertas itu digunakan untuk jangka waktu tiga hari dengan kapasitas penyaringan sebanyak satu liter.

Jangka waktu yang terbilang pendek itu disebabkan Luthfi masih mengkhawatirkan kalau-kalau enzim hasil percobaannya akan larut.

Nantinya proses itu diperbesar, dan jangka waktu penggunaan filter diperpanjang sesuai dengan umur keefektifan enzim melakukan proses katalisis yang umumnya mencapai enam bulan.

Percobaan itu ternyata masih teradang persoalan harga enzim yang cukup mahal.

Sekarang ini harga enzim masih berkisar satu juta hingga tiga juta rupiah per kilogram. Untuk filter berukuran satu meter persegi, dibutuhkan tiga gram enzim.

Mengenai sumber minyak bekas yang menjadi salah satu bahan biodiesel, Luthfi menerangkan minyak bekas dapat diperolah dari restoran-restoran cepat saji, hotel-hotel berbintang, dan industri makanan.

Penggunaan minyak bekas dari tempat-tempat itu dimaksudkan agar sumber bahan pembuat biodiesel tidak mengganggu industri pangan.

Lebih jauh, Luthfi mengatakan setelah proses penelitiannya selesai, hasilnya dapat dengan mudah digunakan masyarakat.

Pasalnya, teknik katalisasi enzim terbilang sederhana sehingga bisa dilakukan oleh masyarakat awam. Hanya menggunakan tabung penyaring yang telah diberi enzim, maka teknik penyaringan dapat dilakukan dengan mudah.

Menurut Luthfi, potensi pembuatan biodiesel oleh masyarakat pun terbuka lebar.

Dengan membeli enzim filter, masyarakat dapat membuat pabrik pengolahan biodiesel sendiri.

“Enzim filter nantinya bisa dijual ke desa-desa,” ujarnya. Biodiesel nantinya bisa digunakan bukan hanya untuk kendaraan bermesin diesel, tetapi juga bisa sebagai bahan pelumas.
(hay/L-2)
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mempercepat Pertumbuhan Mikroalga dengan Nanoteknologi

   
     
  Jumat, 03 September 2010 02:00    
     
     

Selama ini pemanfaatan mikroalga sebagai bahan baku biofuel masih terkendala dari sisi produksi. Untuk mempercepat pertumbuhan mikroalga dilakukan budi daya dengan menggunakan bioreaktor.

   
         
  Ketika dunia dilanda krisis bahan bakar minyak dan perubahan iklim global, penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) dipandang sebagai suatu solusi yang cukup efektif.

Pasalnya, selain mampu berperan sebagai sumber energi terbarukan, biofuel juga lebih ramah lingkungan. Meski memiliki kelebihan, penggunaan bahan bakar dari tanam-tanaman seperti jagung, padi, dan ketela tidak berarti mengandung kelemahan.

Apabila tanaman-tanaman itu dijadikan bahan baku biofuel, maka dikhawatirkan pasokan bahan pangan akan berkurang drastis. Pasalnya, tanaman-tanaman itu termasuk ke dalam golongan tanaman pangan sumber konsumsi manusia.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi berkurangnya tanaman pangan karena digunakan untuk keperluan biofuel, maka perlu dicari bahan baku biofuel lain yang ber asal dari tanaman nonpa ngan (non-edible).

Para ahli terus melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan sumber biofuel nonpangan tersebut, semisal penggunaan tangkai gandum dan tangkai jagung. Dalam perkembangannya, penemuan sumber biofuel itu akhirnya tertuju pada mikroalga.

Berbagai studi menunjukkan bahwa mikroalga merupakan sumber minyak yang potensial. Di perairan alami, baik laut maupun perairan darat, alga banyak tumbuh terutama di bagian permukaan.

Hal itu disebabkan mikroalga memerlukan cukup sinar untuk melakukan fotosintetis. Berdasarkan alasan itulah, beberapa peneliti biofuel merancang reaktor vertikal yang tidak banyak memakan tempat.

Dengan menggunakan reaktor vertikal itu, luasan ruang yang diperlukan kecil, namun permukaan air yang diperoleh cukup luas. Alhasil, volume alga yang dikembangbiakkan pun menjadi lebih besar.

Pengembangbiakan mikroalga selain bermanfaat untuk menghasilkan bahan baku biofuel juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan. Pasalnya, di dalam reaktor mikroalga menyerap karbondioksida (CO2) dalam jumlah banyak.

Seperti lazim diketahui gas karbondioksida merupakan gas buang yang memicu pemanasan global. Jadi, bisa disimpulkan budi daya mikroalga memiliki manfaat ganda, yaitu menghasilkan minyak nabati sekaligus mengurangi pemanasan global.

Namun persoalannya, agar dapat menjadi sumber bahan bakar nabati dalam skala produksi massal, perlu suatu upaya mempercepat perkembangan mikroalga.

Untungnya, persoalan tersebut berhasil dipecahkan oleh Radhakrishna Surehkumar, guru besar di jurusan teknik kimia dan LC Smith, profesor ilmu komputer, keduanya dari Universitas Syracuse New York, Amerika Serikat (AS).

Bantuan Nanoteknologi

Seperti dilansir laman Science Daily edisi Agustus 2010, kedua pakar itu menemukan cara terbaru dalam mempercepat pertumbuhan mikroalga. Surehkumar dan Smith menggunakan bantuan teknologi nano untuk mempercepat pertumbuhan mikroalga secara lebih efisien.

“Kami memanfaatkan partikel skala nano dari bahan perak,” jelas Smith mengenai laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature itu. Sebagai langkah awal, kedua ilmuwan itu memanipulasi partikel cahaya dengan alat berbahan dasar partikel skala nano dari perak.

Cahaya Matahari yang telah dimanipulasi itu lalu digunakan untuk membantu proses fotosintesis secara lebih cepat. Fotosintesis adalah proses biokimia pembentukan zat makanan atau energi berupa glukosa yang dilakukan tanaman, alga, dan beberapa jenis bakteri.

Proses itu melibatkan zat hara, karbondioksida, dan air, serta energi yang berasal dari sinar Matahari. Cahaya biru dari Matahari kemudian diseleksi lewat alat bioreaktor.

Melalui kombinasi cahaya dan konfi gurasi bioreaktor ditambah sentuhan teknologi nano, mikroalga mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan alga dari kelompok kontrol yang tentu saja dibiarkan tumbuh alami tanpa intervensi teknologi.

Dalam mempercepat pertumbuhan alga tersebut, Surehkumar dan tim membuat alat bioreaktor mini. Mereka juga membuat green house untuk memaksimalkan cahaya Matahari dan membuat sistem suhu berada pada kisaran 25 derajat celsius.

Green house berfungsi untuk memaksimalkan cahaya yang masuk dan menjadikan suhu tidak terlalu panas. Pada tahap selanjutnya, di bawah green house diletakkan cawan petri yang berisi mikroalga hijau (Chlamydomonas reinhardtii).

Ada pula cawan petri lainnya yang berisi partikel nano dari bahan perak. Bahan nano partikel dari perak berfungsi mena burkan cahaya biru ke dalam kultur alga.

Melalui serangkaian eksperimen, tim menemukan teori bahwa dengan memvariasikan konsentrasi dan ukuran solusi partikel nano, mereka bisa memanipulasi intensitas dan frekuensi sumber cahaya.

Alhasil, panjang gelombang yang optimal untuk pertumbuhan mikroalga pun dapat tercapai. “Aplikasi penyebaran dari panjang gelombang cahaya pada skala yang lebih besar memang masih menghadapi tantangan.

Namun, cara ini dapat membuat panen lebih efisien, selain itu dapat pula mengurangi pertumbuhan parasit yang merugikan,” papar Surehkumar.

Inovasi yang dikembangkan Surehkumar dan Smith dengan memanfaatkan teknologi nano itu merupakan inovasi pertama yang berkaitan dengan upaya mempercepat pertumbuhan alga sebagai bahan baku biofuel.

Ke depannya, kata Surehkumar, dia berharap bioreaktor yang dibuatnya itu dapat pula berguna sebagai sensor lingkungan. Perangkat tersebut bertindak layaknya sistem peringatan dini ekologis.

Dengan menganalisis data dari sensor lingkungan itu, bencana yang terjadi di lingkungan perairan pun bisa ditanggulangi sejak dini.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta




Bioreaktor Mini Penghasil Biogas



Sabtu, 13 Nopember 2010


Sampah telah menjadi problem yang cukup krusial di sejumlah daerah, terutama di kota-kota besar. Tidak hanya sampah anorganik, sampah organik pun kerap kali sangat mengganggu lingkungan apabila tidak dikelola cara-cara yang mengikuti prinsip 3 R reduce, reuse, dan recycle (3R). Sampah anorganik yang sulit diuraikan biasanya menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), mengendap di sungai, bahkan di laut.

Akibatnya, selain mengganggu ekosistem perairan, pantai pun tidak lagi sedap dipandang. Sementara itu, sampah organik yang membusuk dapat menyebabkan timbulnya bau tidak sedap terhadap lingkungan. Selain aroma tidak sedap, sampah organik dapat pula mencemari lingkungan dan menjadi sumber penyakit. Bau yang menusuk membuat lingkungan tidak nyaman lagi ditinggali dan secara estetika tidak sedap dipandang.

Untuk mengurangi berbagai dampak merugikan dari keberadaan sampah organik itu, trio peneliti dari jurusan Mikrobiologi Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Ivanna, Marcelia, dan Aldina Saraswati Suwanto mencoba memanfaatkan sampah tersebut. Upaya yang mereka lakukan ialah mengonversi gas yang terkandung di dalam sampah organik, salah satunya ialah gas metana (CH4), menjadi biogas. Seperti diketahui gas metana merupakan gas kerap mencemari lingkungan dan dapat menyebabkan pemanasan global.

Untuk mengonversikan gas tersebut, mereka membuat bio reaktor. Menariknya, jika umumnya biogas diambil dari kotoran hewan, Ivanna dan dua rekannya memilih bahan olahan dari sampah dapur. “Kami terinspirasi ketika melihat banyaknya sampah dapur di kantin kampus yang tidak pernah dimanfaatkan,” ujar Ivanna. Menurut dia, selama ini pembuangan sampah dapur rumah tangga dan warung dilakukan tanpa proses degradasi terlebih dulu.

Hal itu sangat disayangkan, pasalnya sampah dapur memiliki potensi untuk diubah menjadi energi alternatif berupa gas. Modal 85 Ribu Rupiah Dengan modal 85 ribu rupiah, para peneliti itu kemudian mencoba melakukan riset kecil-kecilan membuat bioreaktor anaerob sebagai penghasil biogas. Bioreaktor itu nantinya dipakai pada proses biologi yang mengubah sampah organik menjadi gas metana. Dalam proses produksinya, bioreaktor anaerob tidak menggunakan bantuan oksigen sehingga membutuhkan reaktor yang tertutup.

Dengan bantuan bakteri asetogen serta metanogen akan dihasilkan biogas untuk keperluan memasak. Agar bioreaktor itu murah dan praktis digunakan, Ivanna dan rekan- rekannya memutuskan untuk membuat perangkat yang berukuran kecilan. Mereka melakukan terobosan membuat bioreaktor skala rumah tangga yang selama ini belum ada. “Selama ini reaktor biogas dari sisa-sisa makanan memang sudah ada, namun kebanyakan masih berukuran besar dan tidak praktis diletakkan di tempat umum di perkotaan,” kata Ivanna.

Lebih lanjut Ivanna menjelaskan bioreaktor berukuran kecil dan sederhana itu memang ditujukan untuk diaplikasikan di rumah tangga. Oleh karena itu, secara estetika bioreaktor tersebut dapat diletakkan di dalam rumah dan kantin. Dengan tambahan aksesori seperti tumbuhan atau bunga di atasnya, papar Ivanna, bioreaktor mini itu pun dapat tampil cantik tanpa mengganggu pemandangan. Pembuatan bioreaktor skala rumah tangga itu melewati beberapa tahapan penelitian.

Sebagai tahap awal, para peneliti menyiapkan tabung berukuran 25x78,5x25 sentimeter yang akan dipakai sebagai bioreaktor. Tabung dipilih dari dari tong sampah plastik yang banyak beredar di pasaran dengan kapasitas 42 liter bahan cair. Tahap selanjutnya, tabung dipasangi keran untuk jalan keluarnya gas. Pada bagian bawah tabung dilapisi semacam kasa atau jaring. Kasa yang ditanam di bagian dalam dimaksudkan untuk memudahkan pembuangan sampah yang telah berkurang gasnya.

Di atas tabung dibuat penutup dengan seal dari karet agar gas tidak bocor ke mana-mana. Ivanna mengatakan tabung tersebut tampak begitu sederhana dan mudah dioperasikan. Pasalnya, pada perangkat tersebut tidak perlu dipasang sensor suhu, propeler untuk mengaduk sampah, dan alat pelindung panas atau thermal jacket seperti bioreaktor umumnya. Karena kepraktisan itulah, orang awam pun dapat membuat dan mengoperasikan sendisi bioreaktor.

Untuk menghasilkan gas, proses yang dilalui diawali dengan memasukkan bahan-bahan organik dari sampah dapur, seperti sisasisa nasi, sayur, buah, dan aneka bumbu dalam keadaan basah ke dalam tabung. Tabung lalu ditutup rapat dan dipastikan tidak ada bagian yang bocor. Begitu juga keran harus dalam keadaan rapat. Lewat proses anaerob pada bioreactor, beberapa bakteri penghasil metana atau metanogen pun bekerja.

Beberapa bakteri yang termasuk metanogen antara lain Methanobacterium formicicum, Methanobacterium thermoautotrophium, Me thanococcus vanielli, Methanomi crobium mobile, Methanospirillium hungatei, Methanosarcina barkeri, dan Methanothrix sp. Ivanna menjelaskan bakteribakteri itu tidak dikembangbiakkan dari luar. Sebabnya, secara otomatis bakteri sudah ada di dalam bahan-bahan organik dari sampah dapur tersebut.

Bakteri metanogen bekerja dengan tidak melibatkan oksigen sehingga tabung harus dalam keadaan tertutup rapat. Bakteri metanogen kemudian me lakukan bioreaksi di dalam tabung. Selanjutnya, sampah akan menghasilkan beberapa senyawa organik yang berasal dari hasil reduksi oleh bakteri. Senyawa-senyawa yang dimaksud antara lain CO2, NH2, H2, dan H2S.

“Senyawa-senyawa itu memproduksi asam dengan mereduksi CO2 menjadi metana dengan bantuan H2,” papar Ivanna. Berdasarkan kajian tim peneliti, reaksi biologis akan menghasilkan gas setelah 20 hari. Namun, sebenarnya pada hari ke-15 gas tersebut sudah terbentuk, hanya semburan apinya belum sebesar ketika reaksi berlangsung lebih lama lagi.

Ivanna yang masih berstatus mahasiswi angkatan tahun 2007 itu menerangkan hasil reaksi bioreaktor dengan bahan dari sisa-sisa sampah daput dapat menghasilkan gas dalam jumlah relatif banyak. Dari hasil analisis diketahui setelah gas berumur 20 hari akan dihasilkan gas setara dengan 3 kilogram Elpiji. Menurut Ivanna, proses pembuatan bioreaktor juga terbilang cepat.

Meski Ivanna dan dua rekannya telah berhasil membuat bioreaktor skala rumah, masih ada pekerjaan rumah yang mesti mereka selesaikan, yaitu menyalurkan gas ke dalam kompor. Agar mengalir ke dalam kompor, gas memerlukan penampungan dan mesti memiliki tekanan.

Hal yang pasti, tekanan pada biogas tidak terlampau tinggi dan tidak membahayakan sehingga tidak diperlukan bahan penampung yang kuat, tidak seperti penampung gas umumnya.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Jagung Kaya Protein Hasil Penyilangan



Proses persilangan antara jagung jenis guluk-guluk dengan srikandi kuning 1 akan menghasilkan jagung varietas unggul. Selain tinggi tingkat produktivitasnya, jagung tersebut juga memiliki kadar protein yang lebih besar ketimbang jagung tanpa persilangan.

   
         
  Lahan pertanian padi kini semakin menyusut akibat banyaknya alih fungsi lahan. Dampaknya, produksi padi yang merupakan bahan baku makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia pun semakin berkurang.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk terus meningkat, tak ayal kondisi yang tidak imbang itu bisa mengakibatkan timbulnya ancaman krisis pangan.

Untuk mencegah krisis pangan, perlu dilakukan beberapa upaya, antara lain membuka lahan pertanian baru, mencari sumber pangan alternatif, dan melakukan rekayasa genetika terhadap tanaman pangan agar tanaman lebih produktif.

Upaya lainnya, memasyarakatkan tanaman pangan nonberas agar lebih digemari masyarakat. Salah satu tanaman yang dimaksud ialah jagung (Zea mays L). Sebenarnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia mengenal jagung sebagai salah satu sumber pangan.

Di daerah dengan curah hujan rendah dan tandus jagung merupakan bahan pangan andalan penduduk untuk memenuhi kebutuhan mereka akan karbohidrat.

Masyarakat Madura, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan beberapa wilayah tandus lainnya menjadikan jagung sebagai makanan pokok mereka.

Selain sebagai bahan pangan, jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Hingga 2010, kebutuhan jagung baik untuk memenuhi permintaan dalam negeri maupun luar negeri masih sangat besar, sehingga perlu pemanfaatan lahan tidur yang ada.

Dari total lahan kering seluas 853.250 hektare, luas lahan yang telah digunakan untuk menanam ja gung baru mencapai 11.998 hektare. Sementara itu, sekitar 21.099 hektare digunakan untuk menanam tanaman palawija di luar jagung.

Lahan yang tersisa yang seluas 820.153 hektare sebenarnya berpotensi pula untuk ditanami tanaman jagung. Untuk meningkatkan produksi jagung nasional, selain lahan tambahan, diperlukan pula dukungan teknologi.

Penggunaan teknologi utamanya untuk mendapatkan va rietas unggul yang bisa menguntungkan para petani.

Budi Setiadi Daryono, dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan peneliti pemuliaan tanaman mengatakan, jagung hibrida yang selama ini banyak ditanam para petani memiliki sejumlah keunggulan, antara lain masa panen lebih cepat, lebih tahan serangan hama dan penyakit, serta produktivitas lebih tinggi. “Jagung hubrida masih menjadi favorit masyarakat untuk ditanam,” ujar Budi.

Sifat Unggul

Masa panen jagung hibrida sekarang ini mencapai 99 hari, dengan hasil panen 6 sampai 7 ton per hektare.

Bandingkan dengan jagung biasa yang masa panennya lebih lama dengan hasil lebih sedikit, yakni 3 sampai 5 ton per hektare. Meski produktivitas ja gung hibrida lebih tinggi ketimbang jagung biasa, di mata Budi hasil itu belum memuaskan.

Dia menginginkan varietas jagung yang lebih unggul, yakni lebih tahan penyakit, memiliki masa tanam pendek, hasil panen tinggi, dan tahan kekeringan. Budi bersama dengan mahasiswa program doktoral di Universitas Trunojoyo, Madura, lantas mencari kultivar atau varietas jagung yang berpotensi menjadi ja gung unggul dengan sifat-sifat seperti yang dikehendakinya.

Pencarian dilakukan di Madura dan hasilnya Budi bersama koleganya itu mendapatkan 200 varietas jagung. Dari sejumlah varietas tersebut, Budi menyaring hingga akhirnya dia menetapkan empat varietas yang berpotensi dikembangkan sebagai jagung unggul.

Keempat varietas jagung itu, yakni tambin, guluk-guluk, talangoh, dan manding dianggap tahan terhadap serangan penyakit yang mengakibatkan benih dan tangkai membusuk, daun menjadi kering, dan tanaman layu.

Apabila dibandingkan dengan tiga varietas ja gung lainnya, guluk-guluk termasuk jenis yang paling menonjol. Budi menjelaskan guluk-guluk memiliki kelebihan tahan penyakit dan masa panen jagung genjah atau kering pohon hanya mencapai 75 hari.

Sementara itu, masa panen jagung yang akan digunakan untuk keperluan konsumsi dengan cara direbus lebih cepat lagi, 60 sampai 65 hari dan jagung yang biasa dimanfaatkan sebagai sayur bisa dipanen ketika mencapai usia 50 hingga 55 hari.

Sayangnya, nilai protein jagung tersebut masih rendah hanya mencapai 5,5 sampai 6,5 persen dari seluruh kandungan nutrisi yang ada pada palawija tersebut. Padahal, umumnya jagung memiliki kandungan protein lebih besar dari itu.

Untuk meningkatkan kandungan protein pada jagung unggul itu perlu dilakukan penyilangan dengan varietas lain, seperti srikandi kuning 1 dan srikandi putih 1.

Srikandi kuning 1 dan srikandi putih 1 merupakan varietas hasil kultivasi Badan Penelitian Jagung dan Serelia Maros, Sulawesi Selatan. Srikandi merupakan perka winan antara varietas quality protein maize (QPM) dari lembaga penelitian internasional CIMMYT di Meksiko dengan varietas lokal.

Jagung QPM memiliki kandungan asam amino lisin dan triftopan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung biasa. Lisin dan triftopan dikenal sebagai asama amino esensial yang sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan tubuh, khususnya pada anak-anak.

Jagung yang beredar di pasaran rata-rata mengandung asam amino esensial mencapai 11 persen. Varietas srikandi putih 1 dan srikandi kuning 1 masing-masing memiliki kandungan protein lisin 0,58 dan 0,46 persen dan triptofan 0,11 dan 0,10 persen.

Lantaran kandungan protein sri kandi kuning 1 lebih besar ketim bang srikandi putih, maka Budi memilih menyilangkan gulukguluk dengan srikandi kuning 1. Selain dari sisi kandungan protein, pemilihan srikandi kuning 1 juga berda sarkan pertimbangan tongkol jagung yang memiliki 12 hingga 14 baris.

Budi mengatakan meski hasil panen srikandi kuning 1 cukup lumayan, yaitu 7,8 ton per hektare, sayangnya masa panen varietas itu terbilang lama, bisa mencapai 105 hingga 110 hari.

Karenanya, dia pun mengawinkan guluk-guluk dengan srikandi kuning 1 dengan membuat dua variasi. Variasi pertama, srikandi kuning 1 dijadikan indukan dan guluk-guluk sebagai “bapaknya” dengan hasil disebut SG.

Sedangkan variasi kedua, guluk- guluk sebagai indukan dengan “bapak” srikandi kuning 1. Dari uji coba di Madura dan kebun Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Pertanian (KP4), selama dua kali masa panen, kedua variasi perkawinan itu mampu menghasilkan jagung kering seba nyak 5 sampai 6 ton per hektare dalam waktu genjah atau selama 75 hari.

“Ini merupakan waktu yang cukup singkat untuk menghasilkan jagung kering pohon,” ujar Budi yang meraih gelar doktor dari Tokyo University of Agriculture and Technology.

Selain unggul dari segi masa panen, jagung GS dan SG pun memiliki ukuran tongkol yang lebih panjang, mencapai 30 sampai 35 sentimeter. Sementara panjang tongkol guluk-guluk hanya 15 sampai 19 sentimeter.

Saat ini, kedua jagung varietas unggul itu sedang menanti uji lokasi di 16 tempat berbeda di Indonesia. Umumnya untuk keperluan tersebut diperlukan dana sebesar 15 juta rupiah untuk satu lokasi dalam satu kali tanam.

“Penelitian ini bukan hanya untuk wilayah Yogyakarta dan Madura melainkan pula untuk seluruh Indonesia,” pungkas Budi.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Mewarnai Batik dengan Indigofera



Selasa, 20 Juli 2010


Gairah untuk mengenakan pakaian bermotif batik belakangan ini semakin meningkat. Tidak hanya orang tua, kain tradisional yang merupakan warisan budaya Nusantara itu kini lazim pula dikenakan anakanak muda, baik pada acara formal maupun nonformal.

Coraknya yang beraneka rupa serta warna yang bermacam-macam menjadikan batik terkesan sangat menarik. Namun, di balik keindahan itu, industri batik ternyata menghasilkan dampak negatif berupa limbah yang bisa merusak lingkungan.

Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya. Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan.

Apabila mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahanbahan kimia tersebut. Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat karsinogenik itu akan membahayakan kesehatan manusia.

Selain berbahaya bagi manusia, bahan pewarna naptol dan indigisol bisa mengakibatkan organisme dalam air akan mati. Hal itu disebabkan bahan pewarna tersebut dapat mengubah nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) dalam air.

Kandungan oksigen (O2) yang notabene diperlukan organisme air akan menurun jika limbah pewarna masuk ke air.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kun Lestari WF, Rini Purwani Hajari, dan Hendri Supranto dari Balai Besar Industri Kerajinan Batik, Yogyakarta, bahan pewarna indigosol memunyai nilai BOD5 3.053 miligram per liter dan COD 10.230 miligram per liter.

Sementara itu, nilai BOD5 naptol mencapai 5.411 miligram per liter, dan COD 19.921 miligram per liter.

Pengertian BOD5 ialah jumlah oksigen yang diperlukan selama lima hari oleh organisme dalam proses degradasi, sedangkan COD merupakan kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air oleh bakteri.

Jika air memiliki nilai BOD kurang dari 1 miligram per liter atau 1 part per million (ppm), dan BOD di atas 4 ppm sudah dikatakan tercemar, jelas bahwa limbah batik cukup tinggi nilai pencemarannya terhadap lingkungan karena angkanya di atas 3 miligram per liter.

Menurut Edia Rahayuningsih, pengajar pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meski bahan naptol telah dilarang digunakan sejak 1996, para perajin batik masih saja menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis, dan lebih cerah.

Agar hasil pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu harus diganti dengan pewarna dari alam.

Pengganti Biru Edia pun lantas meneliti tanaman indigofera sebagai bahan pewarna pengganti naptol.

Dulu, tanaman tersebut pernah terkenal sebagai pewarna indigo. Hasil penelitian Edia menunjukkan marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami.

Zat warna pada indigofera yang berupa serbuk dan diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye) itu dihasilkan melalui teknik modern.

Selain penggunaannya praktis, zat warna yang dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna yang diproduksi dengan cara tradisional.

Menurut Edia yang meraih gelar doktor kimia dari UGM itu, kadar warna biru dari serbuk yang dihasilkan memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya hanya 15 persen. Apabila untuk mendapatkan warna dengan kecerahan sama pewarna indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan proses yang dikembangkan Edia, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan.

“Bagi para perajin batik, efisiensi proses cukup berarti,” ujarnya. Untuk menghasilkan mutu perwarna biru dengan kualitas tinggi itu, Edia menjalankan beberapa proses.

Sebagai langkah awal, dia memilih daun indigofera berumur 5 sampai 6 bulan yang dianggap tua. Daun tua biasanya berwarna hijau kebirubiruan dengan biji berwarna cokelat kehitam-hitaman.

Proses berikutnya adalah perendaman di bak selama beberapa waktu, kemudian dilakukan proses hidrolisis, yaitu penguraian zat warna berupa glukosa indikan. Enzim akan mengubah indikan menjadi indisil dan glukosa.

Proses itu akan menghasilkan warna nila putih. Agar menghasilkan nila biru (indigo), langkah selanjutnya yang harus ditempuh ialah melakukan oksidasi di dalam bak aerator selama sekitar 12 jam.

Di bak, materi cair itu diaduk hingga tidak berbuih lagi. Cairan yang tidak berbuih lagi biasanya akan berwarna kecokelatan. Selanjutnya, cairan itu ditampung di dalam bak sedimentasi selama 3 sampai 4 jam.

Air di bagian atas yang berwarna kecokelatan kemudian dibuang. Di bagian bawah terdapat endapan yang merupakan hasil pengendapan bahan pewarna biru dari indigofera.

Untuk mendapatkan bahan warna berupa serbuk, endapan dipanaskan hingga kering. Sedangkan untuk bahan dalam bentuk pasta, endapan zat warna cukup dipanaskan hingga mengental.

“Tetapi, bentuk pasta kurang tahan lama dalam penyimpanan dan mudah rusak karena tumbuh jamur,” papar Edia. Dia menambahkan rendemen daun indigofera terbilang kecil.

Dari 250 kilogram daun basah yang diproses, hanya diperoleh 1 kilogram serbuk warna atau 0,4 persen. Tidak heran apabila harga pewarna alami menjadi tinggi atau berkisar 750 ribu rupiah per kilogramnya.

Keuntungan para perajin pun lebih sedikit jika harus menggunakan pewarna dari tanaman indigofera itu. Berbeda halnya jika mereka menggunakan pewarna naptol yang harganya hanya sekitar 50 ribu rupiah per kilogram.

Edia mengatakan dirinya tidak menyangkal kalau dilihat dari segi harga, bahan pewarna alami tidak dapat bersaing. Namun, jika dibandingkan dari sisi kualitas, warna alami indigo lebih lembut dan tahan lama.

“Hasil pewarnaan bahan sintetis lebih tajam, berbeda halnya dengan warna alami yang terlihat lembut, tetapi dari segi pamor secara keseluruhan warna alami jelas lebih cantik.”

Beberapa waktu lalu, perempuan yang banyak meneliti tentang pencemaran tersebut telah melakukan sosialisasi agar semakin banyak petani yang turut menanam indigofera demi menekan harga.

Hasilnya, kini, ada beberapa petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang bersedia menanam tanaman tersebut karena mengetahui besarnya keuntungan yang bisa diperoleh.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta


   
     
 

Menjajal Pemilu “E-Voting”

Jumat, 21 Mei 2010
     
Pemilihan umum (pemilu) manual masih diliputi kecurangan, penghamburan waktu, dan pemborosan biaya. Pemilu elektronik dapat dipakai untuk mengatasi kekurangan meski terdapat setumpuk tantangan.

LEBIH EFFEKTIF , Suasana penghitungan suara di pusat rekapitulasi suara KPU beberapa waktu lalu. KPU optimistis e-voting bisa diterapkan pada penyelenggaraan pemilu mendatang, sebab penggunaan teknologi komputerisasi lebih efektif dan menghemat anggaran negara.

   
         
  Negara demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang ditandai dengan suara dari rakyat sebagai penentu arah politik.

Muaranya adalah terwujudnya pemilu yang jujur dan adil (jurdil), serta persamaan di depan hukum.

Sayangnya, setiap kali pemilu, orang masih direpotkan dengan isu kecurangan yang membuat banyak orang bertikai.

Isu seperti mencoblos lebih dari satu kali, penggelembungan suara, Daftar Pemilih Tetap (DPT) fiktif, dan sejenisnya selalu berulang, entah itu dalam pemilu kepala daerah maupun pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Kecurangan atau kekeliruan tentu saja menjadi masalah bagi legitimasi politik.

Orang yang berkuasa akan terus mendapatkan rongrongan jika legitimasinya diragukan lantaran terjadi kesalahan-kesalahan dalam proses pemilunya.

Sebenarnya ada harapan agar pemasalahan seputar pemilu tidak muncul setiap kali diselenggarakan.

Lewat pemanfaatan teknologi informasi yang disebut dengan evoting (electronic voting), pemilu dapat dilaksanakan lebih terkontrol.

Dengan begitu, kecurangan dan kesalahan dapat diminimalisasi oleh sistem yang ada.

Dari segi istilah, e-voting merupakan sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dan mengolah informasi digital untuk membuat surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, menayangkan perolehan suara, serta memelihara dan menghasilkan jejak audit.

Jadi, e-voting bukan sekadar melakukan pemungutan suara dengan alat elektronik, namun mencakup semuanya.

E-voting telah dilaksanakan di berbagai negara, seperti India, Brasil, Venezuela, AS, dan Filipina.

Negara-negara itu telah sukses melaksanakan pesta demokrasinya dengan teknologi komunikasi elektronik.

Sudah Saatnya

Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary, setelah beberapa kali melakukan pemilu dengan cara manual, sudah saatnya Indonesia melakukan pemilu dengan cara e-voting pada pemilu 2014 mendatang.

“Tiba saatnya Indonesia melaksanakan e-voting,” katanya.

Ia mengatakan pada Pemilu 2009, dibutuhkan biaya besar untuk setiap pemilih.

Setiap orang memerlukan anggaran 122 ribu rupiah.

Bandingkan dengan anggaran e-voting, yang per orang bisa ditekan menjadi enam ribu rupiah saja.

Hafiz mengatakan secara yuridis dan teknologi, e-voting sudah dapat dipenuhi.

Tinggal mempersiapkan aspek-aspek lainnya agar sistem pemilu yang memiliki beberapa keunggulan itu dapat terlaksana pada pemilu nasional mendatang.

Oleh karena itu, sejak sekarang, perlu dipersiapkan sarana dan prasarananya, termasuk Undang-Undang Pemilu baru yang kini sedang digodok oleh DPR.

Menurut Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan A Iskandar, untuk dapat menyelenggarakan pemilu yang efisien dan efektif, teknologi e-voting sudah harus dimanfaatkan.

Ia mengatakan dibandingkan dengan pemilu konvensional dengan cara mencoblos atau mencontreng, cara ini menawarkan beberapa keuntungan.

Keuntungan e-voting, menurut Marzan, lebih hemat dalam pemungutan suara, cepat dalam memilih, cepat dalam menghitung, dan tidak memerlukan surat suara.

Risiko kehilangan atau kerusakan surat suara tidak ada lagi.

Pada pemilu legislatif, misalnya, penghitungan bisa berlangsung dua hari dua malam.

Sebenarnya pada pemilu lalu, Indonesia telah menggunakan perangkat elektronik dalam melaksanakan pemilu.

Sayangnya, hal itu hanya dipakai dalam penghitungan cepat atau quick count dan penghitungan secara e-counting.

Secara teknik, e-voting adalah suatu metode pemungutan suara dan penghitungan suara dalam suatu pemilihan dengan menggunakan perangkat elektronik.

Terdapat beberapa perangkat, baik lunak maupun keras, yang dipakai pada pemilihan ini.

Jika mengacu pada teknologi yang sudah ada dan telah dikembangkan BPPT, e-voting kepala dusun dan kepala kelurahan sudah dilakukan di Kabupaten Jembrana, Bali.

Dalam proses pemungutan suara di daerah itu, teknologi ini menggunakan kartu chip dan komputer layar sentuh.

Reader pada mesin akan membaca kartu.

Selanjutnya, layar akan menampilkan calon kepala dusun atau kepala desa atau kelurahan yang akan dipilih.

Pemilih akan memilih salah satu pasangan dengan cara menyentuh layar.

Bukan hanya itu, setelah usai, mesin akan memberikan struk bukti tanda sudah memilih, dan dimasukkan ke kotak suara.

Bukti struk dimaksudkan untuk merunut jika terjadi keluhan masalah penghitungan.

Agar Pemilu dapat berlangsung jurdil, e-voting mensyaratkan keamanan, misalnya dengan akurasi penghitungan yang tinggi, dapat dilakukan verifikasi dan dapat dilakukan audit untuk evaluasi oleh pihak yang kompeten.

Bahkan, nantinya, sistem on line ini harus bebas gangguan hacker, cracker, dengan standard operating procedure (SOP) yang jelas.

Sistem Kontrol Marzan mengatakan setelah memilih, orang tidak akan dapat memilih lagi.

Sistem kontrol komputer akan mengecek atau memverifikasi, apakah sudah melakukan pemilihan atau belum.

Ketika ia sudah memilih, komputer akan menolak.

Meski demikian, hingga sekarang, belum ditentukan teknologi mana yang paling pas.

Pasalnya, dalam empat tahun ke depan, terjadi kemajuan terus-menerus dalam teknologi e-voting.

Banyak ahli yang belum mengungkapkan teknologi mereka lantaran belum didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual.

Yang menjadi syarat agar sistem e-voting dapat terselenggara secara nasional adalah adanya Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

Data SIAK kemudian dijadikan dasar untuk membuat KTP elektronik dengan data single identity number (SIN).

Dengan SIN, setiap orang hanya memiliki satu KTP.

Syarat inilah yang dipakai dalam melaksanakan e-voting.

“Momentum penyelenggaraan e-voting terbuka, dengan diselenggarakan program penataan SIAK,” katanya.

Namun, Hafiz mengatakan, pada Pemilu 2014 nanti, tidak serta merta semua daerah dan semua pemilu memakai e-voting.

Aspek sosiologis, sumber daya manusia, dan geografis menjadikan tidak semua pemilu dapat diselenggarakan secara serentak di semua wilayah.

Artinya, bagi yang belum memungkinkan, masih dipakai cara lama, yakni dengan cara mencontreng.

Jimly Asshiddiqie, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menegaskan tidak usah gamang dalam menjalankan e-voting.

Payung hukumnya sudah ada, yaitu dengan keputusan MK yang menetapkan pengertian lebih luas terhadap kata mencoblos yang ada pada UU No 32 Tahun 2004.

Ia mengatakan pada pemilu nanti masyarakat dapat melakukan e-voting secara bertahap, mulai dari Pemilu Kada Kabupaten Kota, Pemilu Kada Provinsi, Pemilu Presiden, hingga Pemilu Legislatif nasional yang memiliki kerumitan lebih tinggi.

“Masyarakat sudah siap, tinggal penyelenggaranya, dan peserta pemilu yang perlu mempersiapkan diri,” pungkasnya.
hay/L-1
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta