Rabu, 17 November 2010

Mereduksi Toksin dengan Protein

31 Oktober 2008
Petani di Indonesia kerap menggunakan pestisida untuk membasmi hama tanaman. Padahal, itu amat berbahaya bagi kesehatan. Untuk meminimalisasi racun yang terkandung dalam pestisida, dapat digunakan enzim.

Pestisida merupakan alat untuk mengontrol hama tanaman dan organisme yang tidak disukai atau merugikan tanaman pertanian. Namun, di balik keefektifannya, zat pembasmi ini mengandung toksin atau racun. Akumulasi residu atau endapan pestisida di lahan pertanian dapat mengakibatkan keracunan bagi konsumen produk pertanian. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya residu kadar pestisida yang tinggi pada beberapa produk pertanian, seperti beras, sayuran, dan aneka buah-buahan.

Senyawa pestisida bersifat pulotan organik yang bandel atau persistence organic pollutant (POP). POP bersifat bioakumulatif, biomagnifikatif, dan biokonsentratif sehingga konsentrasinya dapat bertahan lama dalam suatu organisme bukan sasaran (nontarget), sangat membahayakan, misalnya pada manusia.

Residu pestisida pada lahan pertanian Indonesia diperkirakan kondisinya telah mencapai ambang yang membahayakan. Untuk itu, perlu dicarikan jalan keluar agar residu pestisida yang ada bisa terdegradasi.

Menurut Nina Hermayani Sadi, peneliti enzim dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor, limbah pestisida yang banyak ditemui pada lahan pertanian dapat didegradasi kadar racunnya (toksid) dengan cara memanfaatkan biokatalis berupa enzim. Enzim yang dihasilkan dari mikroorganisme tersebut dapat mendegradasi racun pestisida pada lahan pertanian hingga kadarnya berkurang.

Menurut Mari Ulfah, Asisten Peneliti pada bagian Rekayasa Genetika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada dasarnya enzim merupakan protein yang berfungsi menjadi katalis dalam proses biokimia. Dengan biokatalis dari enzim proses reaksi kimia menjadi lebih cepat dibandingkan dengan reaksi kimia biasa.

Ia mengatakan sifat enzim yang bekerja hanya pada substrat atau bahan dasar yang spesifik memberi peluang baru untuk memanfaatkannya dalam kehidupan manusia. Pada dasarnya, terdapat tiga jenis aplikasi enzimatis, yaitu untuk menghasilkan, mendeteksi, dan mendegradasi senyawa tertentu.

Amobilisasi

Nina menambahkan agar proses degradasi lebih murah, enzim tersebut harus dilakukan amobilisasi terlebih dahulu. Tujuan proses ini agar enzim bisa dipakai berulang kali sehingga tidak memboroskan biaya. ?Proses kimia dengan mempergunakan enzim saat ini memang masih mahal,? katanya.

Amobilisasi dapat mencegah terbukanya lipatan-pilatan protein enzim, dengan begitu aktivitas enzim dapat berkerja secara maksimal. ?Atau dengan kata lain dengan amobilitas enzim akan dapat meningkatkan kestabilan struktur enzim sehingga dapat bekerja berulang kali,? ujar Nina.
Lebih jauh ia mengatakan enzim amobil merupakan enzim yang dilokalisasi atau diikat dalam suatu bahan penyangga. Bahan penyangga bisa berupa papan atau membran tertentu untuk mempertahankan kemampuan aktivitas katalisnya, sehingga dapat dipergunakan berulang kali.

Saat ini, dikenal tiga macam metode amobilisasi enzim, yaitu dengan metode absorpsi, metode ikatan silang, dan metode penyerapan. Metode absorpsi merupakan metode yang sangat sederhana. Metode ini menggunakan permukaan padat untuk menyerap atau menempelkan enzim di atas permukaan dengan memanfaatkan bahan padat sebagai tempat menyerap enzim. Bahannya bisa berupa alumina, bentonit, anion selulosa, resin, kaca, dan lainnya.

Metode ikatan silang merupakan merupakan metode amobilisasi dengan memadukan metode absorpsi dan multifungsi pengikatan lain sehingga akan terbentuk ikatan silang yang lebih baik. Enzim kemudian terikat kuat sehingga tidak larut dalam air.

Sedangkan metode penjerapan atau entrapment, merupakan metode yang memanfaatkan perbedaan ukuran antara subtrat, produk, dan biokatalis. Biokatalis akan tertahan dalam sebuah ruangan matrik, sementara subtrat dan biokatalis dapat bergerak bebas. ?Secara sederhana metode penyerapan enzim dilakukan dengan mencampurkan enzim ke dalam bahan pelarut yang mudah dipadatkan,? katanya.

Nina memberi catatan, pemilihan bahan penyangga amobilisasi harus berdasarkan pada aktivitas biokatalis, yaitu struktur, aktivitas enzim, metode amobilisasi yang digunakan, dan kondisi proses amobilisasi.

Proses Degradasi

Proses digradasi limbah pestisida dengan memanfaatkan enzim tidak mudah. Satu hal yang perlu dicatat, kata Nina, dalam penanganan limbah pestisida secara enzimatis, sistem yang dikembangkan harus melalui tahap pengajian yang teliti sehingga tidak diperoleh hasil yang tidak diharapkan.

Nina mengatakan tidak semua jenis pestisida dapat dihidrolisis dengan menggunakan satu jenis biokatalis enzim. Namun, proses ini bergantung jenis pestisida, jenis mikroba, dan media pembiakan tempat berkembangnya bakteri tersebut sebelum dapat diigunakan. ?Harus ditentukan dulu jenis pestisidanya, jenis mikroba yang tumbuh pada lahan pertanian yang akan didegradasi dengan enzim,? katanya.

Untuk menentukan enzim penghidrolisis pestisida pada lahan pertanian, yang perlu dilakukan adalah dengan menentukan jenis mikroba. Untuk itu yang perlu dicari terlebih dahulu mikroba yang hidup pada lahan pertanian tersebut. Bakteri yang didapat, kemudian dibiakkan dalam media yang mengadung pestisida tertentu. Tujuannya supaya bakteri ini bisa tahan terhadap zat beracun ini. Dalam media ini mikroba kemudian menghasilkan enzim kasar yang akan dimurnikan dan selanjutnya diamobilisasi.

Untuk menghidrolisi jenis pestisida herbisida fenilkarbamat, misalnya, maka jenis yang digunakan adalah jenis enzim yang dihasilkan oleh mikroba dari genus Arthrobacter (Arthrobacter sp). Caranya dengan membiakkan mikroba ini dalam medium diklorofenosiastet terlebih dahulu. Setelah proses ini, enzim baru bisa dipakai untuk menghidrolisi herbisida jenis fenol terklorinasi.
Demikian juga untuk jenis pestisida fenil karbamat digunakan jenis mikroba dari jenis genus Peseudomonas. Mikroba ini dibiakkan dalam dalam herbisida fenilkarbamat dan akhirnya dapat digunakan untuk menghidrolisis beberapa pestisida golongan fenil seperti karbamat dan asilanilida.
Setelah enzim ini jadi maka bisa digunakan dalam lahan pertanian. Bila berbentuk pelet enzim bisa ditaburkan di atas lahan pertanian. Tapi bila berbentuk cair maka enzim dapat dicampurkan di dalam larutan penyaring, untuk menghidrolisis air yang mengandung pestisida pada lahan pertanian yang bersama dengan proses penyaringan air
Ezim mempunyai keunggulan dalam mendegradasi pestisida, karena biokatalis ini bisa digunakan dalam suhu ruang dan pH netral. Reaksi enzimatis tidak memerlukan bahan kimia konvensional sehingga ramah lingkungan. Bahan kimia biasa untuk mendegradasi kadang berbahaya karena menghasilkan efek samping.

Keuntungan lain reaksi enzimatis, pada saat degradasi tidak terpengaruh oleh toksisitas limbah yang ada dibanding dengan cara biologis menggunakan tanaman air. Enzim juga mampu menghasilkan reaksi yang bersih yang tidak berefek samping lantaran memunyai kekhususan pada struktur molekul pembentuknya. (hay/L-4)

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar