Rabu, 15 Desember 2010

Mengadang Kanker Payudara dengan Ciplukan

  
 Rabu, 15 Desember 2010
Bagi kaum hawa, kanker payudara merupakan momok yang sangat menakutkan. Betapa tidak, penyakit itu sering kali datang secara tiba-tiba dan tidak diketahui sebelumnya. Tidak sedikit kaum perempuan yang tiba-tiba divonis menderita kanker payudara stadium lanjut, padahal sebelumnya mereka tidak merasakan tanda-tanda “aneh” pada organ payudara. Ironisnya, jumlah penderita kanker payudara cenderung meningkat dari tahun-tahun. Di Indonesia, kaum perempuan yang menderita penyakit itu terbilang banyak, bahkan jumlahnya menduduki posisi kedua setelah penderita kanker leher rahim.

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), diketahui pada 2007 tercatat 8.227 kasus kanker payudara. Angka tersebut lebih besar ketimbang tahun sebelumnya yang hanya 5.786 kasus. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa angka penyebaran penyakit itu masih tinggi. Salah satu penyebab tingginya tingkat penyebaran kanker payudara adalah belum ditemukannya obat untuk mencegah penyakit tersebut.

Selama ini, obat-obatan yang ada fungsinya bukan preventif, melainkan mengobati penyakit yang telanjur diderita pasien. Sebagai contoh, untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker penderita mesti menjalani kemoterapi. Kondisi itulah yang lantas mendorong Ameilinda Monikawati, mahasiswi jurusan Farmasi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yog yakarta, untuk mencari obat pen cegah kanker payudara. Dia berharap obat tersebut nantinya dapat “membentengi” para perempuan dari ancaman penyakit mematikan itu.

Menurut Ameilinda, obat pencegah kanker payudara tersebut bisa berupa agen kemopreventif. “Agen itu bermanfaat untuk mengurangi risiko kanker sekaligus sebagai terapi kombinasi dalam pengobatan kanker,” ujar dia. Selama ini, metode penyembuhan kanker payudara yang umum dilakukan adalah kemoterapi. Sayangnya, metode tersebut masih menyisakan beberapa persoalan.

Agen kemoterapi doxorubicin sebagai satu-satunya agen penyembuh ternyata menimbulkan efek samping terhadap pasien, seperti mual, muntah, serta adanya toksisitas pada jaringan normal dan jantung. Selain itu, doxorubicin juga menekan sistem imun dan resistensi pada sel kanker itu sendiri. Melihat persoalan tersebut, Amel, begitu peneliti muda itu biasa dipanggil, beranggapan diperlukan agen ko kemoterapi bagi pasien yang menjalani proses kemoterapi. Agen tersebut akan berperan meningkatkan efikasi dan menurunkan toksisitas pada tubuh pasien.

Peningkatan efikasi dan penurunan toksisitas tersebut dapat pula mencegah penyebaran sel dan memicu apoptosis, yakni proses pembuangan sel yang tidak diperlukan oleh tubuh secara alami. Dalam memilih agen pencegah kanker payudara tersebut memang diperlukan penelitian yang intensif. Berdasarkan beberapa hasil penelitian diketahui bahwa sejumlah tanaman memiliki senyawa-senyawa yang berpotensi mencegah kanker.

Salah satu jenis tanaman yang dianggap mujarab sebagai agen tersebut ialah ciplukan (Physalis angulata L). Ciplukan diketahui memiliki efek sitotoksik atau mampu menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Menghambat Penyebaran Tanaman tersebut juga memiliki efek antipoliferasi atau penyebaran sel-sel kanker, memicu pertumbuhan sel G2/M arrest, mendorong terjadinya apoptosis pada sel kanker payudara MDA-MB231, serta memiliki efek antihepatoma sel hati manusia seperti Hep G2, Hep 3B, dan PCL/PRF/5.

Amel yang juga anggota Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Farmasi, UGM, itu menuturkan ciplukan mampu mengatasi kanker karena mengandung fi salin B dan D. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui fisalin B dan F yang diisolasi dari herba ciplukan dapat menghambat pertumbuhan beberapa sel leukemia atau kanker darah. Cairan kloroform pada ciplukan selama ini terbukti pula mampu menghambat sel ade nokarsinoma paru-paru NCIH23.

Untuk memastikan ciplukan dapat dipakai sebagai fitofarma-ka atau tanaman obat pencegah dan pengobat kanker payu dara, Amel melakukan serangkaian penelitian. Dia menguji aktivitas sitotoksik ekstra etanolik herba ciplukan (EHC) pada sel kanker payudara secara in vivo dan in vitro. Secara in vivo Amel meneliti sel kanker payudara yang ada pada tubuh tikus betina sprague dawley yang dinduksikan dengan 7,12 dimetilbenz[a]antrasena (DMBA). Sementara itu, pada in vitro, dia menggunakan sel kanker payudara MCF-7 dan T47D koleksi dari CCRC.

Adapun sel tersebut berasal dari Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Uji in vitro dilakukan dengan menginduksi kanker payudara MCF-7 dan T47D yang ditumbuhkan di dalam media kultur. Sel itu lalu diinkubasi dengan EHC selama 24 jam dengan metode MTT Assay. Dari hasil pengamatan setelah tahap uji coba diketahui terjadi reaksi sel kanker dengan EHC. Selain itu, terjadi pula ektivitas sitotoksik dari EHC terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan T47D.

Pada saat dosis konsentrasi EHC ditingkatkan, terjadi kematian sel yang semakin tinggi atau mencapai angka 20 persen karena apoptosis. Efek apoptosis ditandai dengan adanya perubahan morfologi sel, kondensasi kromatin, dan fragmentasi nukleus. Untuk menandai kematian sel dilakukan pengecatan, yaitu permeasi oleh akridin oranye pada sitoplasma. Dengan cara itu sel kanker yang hidup akan tampak hijau dengan inti sel utuh dan sel yang mati akan berwarna merah.

Pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya aktivitas apoptosis yang ditunjukkan dengan inti sel yang utuh dan berfluoresensi hijau. Hasil pengecatan itu membuktikan EHC mampu menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7 karena hasil pengecatan menunjukkan adanya warna merah pada sel. Pada kondisi normal sel kanker memiliki struktur berbentuk daun, namun ketika sel mengalami kematian bentuknya berubah menjadi bulat dan semakin kabur.

“Sel yang tampak lebih bulat dan mengapung menandakan sel tersebut mati,” jelas Amel. Demi mendapatkan hasil yang lebih meyakinkan, Amel yang melakukan penelitian bersama-sama dengan dua rekannya di jurusan Farmasi, Sofa Farida dan Inna Armandari, menguji coba secara in vivo pada tikus. Pada kelompok tikus yang mendapat perlakuan EHC dengan konsentrasi 100 μg/mL terlihat adanya aktivitas apoptosis. Hal itu ditandai dengan perubahan warna inti sel dari hijau ke jingga dengan kromatin terfragmentasi atau terkondensasi.

Sementara itu, pada kelompok kontrol tidak terlihat adanya aktivitas apoptosis yang ditunjukkan dengan inti sel yang utuh dan berfl uoresensi hijau. Hasil pengecatan Hematoslin dan Eosin itu membuktikan bahwa EHC mampu menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara MCF-7 dan T47D. “Pemberian EHC pada sel MCF-7 dan T47D menunjukkan adanya fenomena dose dependent, persentase sel yang hidup semakin menurun seiring dengan peningkatan dosis,” pungkas Amel.

Atas hasil penelitiannya itu Amel pun berhak menyandang gelar sebagai juara I lomba Kompetisi Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) ke-9 2010 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar