Rabu, 17 November 2010

Mengurai Limbah Jadi Gas dengan Mikrokontroler

08 Mar 2010
Teknologi mikrokontroler membantu mengurai limbah dan konversi menjadi gas. Aplikasi ini mengurangi kegagalan proses yang lama dan rumit.

Limbah, suatu zat sisa hasil produksi industri kecil maupun besar yang sudah tidak terpakai lagi, kerap mencemari lingkungan. Tidak jarang pula pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah itu membahayakan kesehatan manusia karena kandungan racun di dalamnya.
Ada tiga macam bentuk limbah, yakni padat, cair, dan gas. Ketiganya, terutama dalam kadar konsentrasi dan kuantitas serta frekuensi tinggi, dapat membahayakan lingkungan apabila dibuang begitu saja tanpa ditangani terlebih dahulu.Oleh karena itu, beragam upaya ditempuh untuk mengurai kadar racun, bahkan mengurai limbah agar dapat dimanfaatkan kembali.
Berlian Sitorus, peneliti limbah dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, mengatakan dirinya prihatin dengan pembuangan limbah industri tahu yang banyak terdapat di kotanya. I nn bah-limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu itu sering kali dibuang begitu saja tanpa proses degradasi racun terlebih dahulu.

Limbah tahu dianggap berbahaya bagi lingkungan karena mengandung senyawa metana 50 hingga 80 persen, dan sisanya berupa gas karbondioksida, hidrogensulfida, serta air. Senyawa-senyawa itu, kata Berlian, jika dibuang ke sungai, akan mencemari air sungai, dan jika dibiarkan, akan menguap sehingga bisa mencemari udara."Pemilik pabrik tahu membuang limbah ke sungai begitu saja sehingga membahayakan lingkungan di sepanjang aliran sungai di Pontianak," ujarnya.
Lebih lanjut, Berlian menuturkan memang sebelum limbah dibuang, dilakukan proses degradasi terlebih dahulu. Biasanya proses yang dijalankan ialah proses aerobik, sebuah proses penguraian limbah dengan melibatkan oksigen (02).Namun, sayangnya, untuk mendapatkan hasil yang ideal, proses penguraian limbah secara aerobik itu dianggap belum cukup. Proses tersebut menghilangkan potensi limbah untuk dijadikan energi biogas.

Padahal dengan mengonversi limbah tahu menjadi biogas, para pemilik pabrik tahu bisa mendapatkan tambahan energi. Selain itu, mereka turut menjaga kelestarian lingkungan dengan mengurangi limbah yang terbuang dan mengurangi penggunaan bahari bakar fosil.
Sejauh ini, pengolahan limbah tahu menjadi biogas dilakukan dalam tiga tahap, yaitu an-aerobik, aerobik, dan fUtrasi. Keseluruhan proses pengolahan yang dilakukan secara manual atau menggunakan tenaga manusia itu diawasi dengan ketat Dibutuhkan kecermatan serta waktu sekitar dua hari untuk mengawasi proses tersebut.Proses pengontrolan tersebut tanpa keterlibatan manusia.
Pada skala uji coba, Berlian mengatakan pada proses pertama mikrokontroler mengaktifkan pompa dari penampungan air limbah setelah terjadi kekosongan air. Air limbah disedot ke bak penampungan yang letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan bak lainnya.Bak penampung limbah berukuran tinggi 40 sentimeter dan diameter 22 sentimeter. Kemudian air limbah itu dialirkan ke bawah dengan menggunakan pompa.

Pada bak penampungan itu, dilakukan proses anaerobik. Bak ditutup rapat, dan limbah diaduk dengan motor. Pengadukan dilakukan dengan memperhatikan perbedaan tingkat putaran pengadukan. Setiap satu jam limbah diaduk selama satu menit.
Pengadukan secara teratur itu akan menghasilkan gas. Biogas selanjutnya ditampung di sebuah gelas besar khusus dan bisa dimanfaatkan sebagai bahari bakar tambahan dalam pembuatan tahu, misalnya ketika perebusan dan penggorengan.
Setelah proses anaerobik selesai, dilakukan proses aerobik. Tahap itu dilakukan agar limbah dapat tentu saja memerlukan tenaga manusia. Belum lagi prosesnya yang rumit berpeluang mengakibatkan kegagalan jika pengawasan dilakukan oleh orang yang belum paham benar. "Tidak aneh jika proses ini sering gagal," terang Berlian.

Tanpa Manusia

Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan proses otomatisasi. Berlian kemudian bekerja sama dengan Seno Darmawan Panjaitan, dosen teknik elektro Universitas Tanjungpura, Pontianak, untuk mengaplikasikan teknologi otomatisasi tersebut.
Teknologi yang menghilangkan keterlibatan manusia itu bertujuan mencegah kegagalan proses penguraian limbah menjadi gas. Pada penelitian yang dibiayai oleh Yayasan Toray Science Indonesia itu, proses otomatisasi menggunakan mikrokontroler.

Seperti komputer, mikrokontroler dapat mengerjakan instruk-si-instruksi yang diberikan. Tentu sebelumnya mikrokontroler telah diprogram terlebih dahulu. Seno mengatakan mikrokontroler yang dipakai ialah dari jenis AT89S52.
Nantinya, mikrokontroler mengatur jalannya proses pengolahan limbah, mulai dari anaerobik, aerobik, hingga fii trasi.Caranya dengan memutuskan perintah dan memulai perintah lagi dengan mematikan dan menghidupkan aliran listrik yang ada. Dengan memasang beberapa sensor, proses itu dapat berjalan dibuang ke sungai dalam kondisi aman. Prosesnya, air dipompakan ke bak terbuka. Air limbah diaduk dengan motor listrik.

Tujuannya agar terjadi aerasi atau pengisian udara di permukaan bak. Pada tahap tersebut terjadi biodegradasi oleh sekumpulan bakteri, antara lain Bacillus subtilis sebagai bakteri paling dominan. Langkah berikutnya adalah proses filtrasi atau penyaringan.
Air akan mengalir ke bak filtrasi. Proses filtrasi dilakukan dengan memakai bahan-bahan yang dapat menyaring kotoran, seperti pasir, batu kerikil, ijuk, dan karbon (arang). Setelah melewati filtrasi, air dapat dibuang dengan aman ke sungai.
Ada beberapa parameter yang bisa menunjukkan apakah limbah sudah aman dibuang atau belum, yaitu chemical oxygen demand (COD)-nya turun hingga 91,5 persen, total suspended solid (TSS) 97,3 persen, dan volatile suspended solid (VSS) 97,3 persen."Agar tetap pada angka ini, ba-han penyaring sebaiknya diganti setelah tiga bulan dipakai. Maksudnya supaya air yang keluar dapat tetap jernih dan aman," kata Seno. hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar