Rabu, 17 November 2010

Melon Lokal Lebih Tahan Penyakit

Sabtu, 03 April 2010
Selama ini, bibit melon masih didatangkan dari Taiwan, Jepang, China, Korea, dan Thailand. Namun, kini dikembangkan bibit melon lokal yang justru kualitasnya lebih unggul dibandingkan dengan bibit impor.

Rasanya yang manis dan menyegarkan menjadikan buah melon disukai banyak orang. Buah dengan nama Latin Cucumis melo L itu memang terasa pas apabila dikonsumsi pada siang hari yang terik. Dahaga pun berkurang karena buah yang satu ini memang memiliki kandungan air yang cukup banyak.

Di Indonesia, melon sudah banyak dibudidayakan, namun sayangnya bibit buah masih didatangkan dari negara-negara lain seperti Taiwan, Jepang, China, Korea, dan Thailand. Hal itu menjadikan harga bibit tanaman dari suku labu-labuan (Cucurbitaceae) itu mahal.

Bagi para petani melon harga tersebut terasa memberatkan karena keuntungan mereka pun menjadi minim. Apalagi ketika panen raya harga melon sering kali jatuh sehingga memengaruhi pendapatan para petani.

Turunnya keuntungan para petani melon tersebut pernah terjadi pada 1998. Menurut Budi Setiadi Daryono, peneliti melon yang juga dosen di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ketika masa krisis ekonomi 1998 para petani melon sangat tersiksa dengan naiknya harga bibit yang mencapai empat kali lipat dari sebelumnya.

Kondisi itu diperparah dengan turunnya daya beli masyarakat. “Itulah salah satu alasan mengapa saya meneliti melon,” ujarnya.

Ketiadaan bibit melon lokal di pasaran akhirnya mendorong Budi untuk menempuh studi tentang melon selama lima tahun di Jepang. Doktor genetika molekuler dan pemuliaan tanaman itu bertekad menghasilkan bibit melon sendiri.

Tujuannya, agar petani Indonesia tidak bergantung pada bibit dari pihak luar yang harganya mencekik leher.

Lebih dari itu Budi menginginkan agar bibit melon yang dihasilkan lebih baik daripada bibit melon asal negara lain, baik dari segi rasa, ukuran, kandungan nutrisi, maupun ketahanan terhadap penyakit.

Dengan begitu para petani mau berpaling dan membudidayakan bibit yang dihasilkan mereka sendiri. Studi yang dilakukan Budi ternyata tidak sia-sia.

Dia berhasil mengembangkan varietas baru dengan nama Gama Melon Basket (GMB). Gama singkatan dari Gadjah Mada, institusi tempat Budi menjalankan penelitiannya.

Dilihat dari motifnya, buah GMB itu memiliki garis vertikal menyerupai bola basket dengan berat antara 1,5 hingga 2,5 kilogram dan diameter rata-rata15,5 sentimeter. Sementara itu, daging buahnya berwarna oranye, seperti filet daging ikan salmon.

Melon unik itu memiliki aroma yang harum. Faktor lain yang membedakan GMB dengan melon biasa ialah GMB memiliki kandungan beta karoten yang cukup tinggi, yaitu 715,789μg (mikro gram) per 100 gram.

Padahal, melon lainnya, semisal melon ladika hanya memiliki kandungan beta karoten 388,855 mikro gram per 100 gram.

Beta karoten termasuk senyawa yang penting karena apabila dikonsumsi senyawa itu akan menjadi zat anti-oksidan yang ampuh menghancurkan benda-benda asing penyebab kanker. Zat itu juga akan membantu menormalkan tekanan darah.

Hasil Persilangan Budi menuturkan GMB merupakan hasil persilangan dari berbagai jenis melon yang ada di berbagai negara.

Menurutnya, GMB menjadi varietas terbaik yang dihasilkannya dari berbagai macam kultivar atau varietas yang dikembangkan dalam persilangan. Berdasarkan kode genetikanya, GMB merupakan persilangan antara varietas TC4 dan F2B5.

Kedua jenis kode indukan itu merupakan perpaduan antara melon lokal dan melon impor. Kultivar TC4 itulah yang menurunkan warna oranye seperti pada daging ikan salmon.

Selain unggul dalam hal rasa, warna, berat, dan kandungan asam elagat, GMB juga memiliki tahan terhadap penyakit yang biasa menyerang melon seperti penyakit layu, busuk pangkal, dan jemur tepung. Penyakit layu disebabkan oleh bakteri Erwina tracheiphila.

Bakteri itu disebarkan dengan perantara kumbang daun onteng-onteng. Tanaman yang terserang penyakit itu biasanya menunjukkan gejala cabangnya layu, daun mengerut, warna daun menguning, mengering, dan akhirnya mati. Sementara itu, penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh cendawan Mycophaerekka melonis.

Penyakit itu membuat pangkal batang mengeriting diikuti dengan keluarnya lendir berwarna merah cokelat.

Biasanya tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang akan layu dan kemudian mati. Apabila diremas, daun tanaman akan terasa kering dan mudah hancur seperti kerupuk.

Dalam mengatasi berbagai penyakit yang menyerang tanaman melon tersebut, Budi yang kini dijuluki “Mr Melon” itu menuturkan sejauh ini cara yang dilakukan adalah dengan membasmi perantara dan bakteri dengan aneka obat kimiawi. Obat-obatan yang dimaksud ialah insektisida, bakterisida, fungisida, dan sejenisnya.

Tentu saja pembasmian hama tanaman dengan cara demikian tidak ramah lingkungan dan residu dari obat-obatan kimiawi itu bisa menjadi racun.

Namun, kini, dengan hasil penelitiannya tersebut, pembasmian mikroba penyebab penyakit tanaman diyakini Budi tidak diperlukan lagi. Pasalnya, GMB disinyalir tahan terhadap penyakit.

Budi yang pernah mendapatkan penghargaan di bidang penelitian dan pengabdian UGM untuk kategori modul mata kuliah berbasis riset terbaik itu mengatakan dirinya berhasil mengidentifi kasi jenis gen yang disebut dengan creb-2.

Berdasarkan hasil analisisnya, gen itu merupakan gen penyebab penyakit pada melon dan terdapat pada Kyuri Green Mottle Mosaic Virus (KGMMV) dan Cucumber Mottle Mosaic Virus (CGMMV).

Agar tahan terhadap penyakit Budi menyeleksi dan melakukan pewarisan gen yang tahan terhadap kedua virus tersebut.

Selanjutnya, dia mencari penanda molekuler pada genetika melon agar tahan terhadap penyakit jamur tepung.

Apabila dibandingkan dengan melon “biasa” yang ada di pasaran, seperti action 434, ladika, glamour, dan mai, GMB lebih cepat berbuah.

Apabila masa panen melon-melon itu biasanya setelah 65 sampai 70 hari masa tanam, GMB hanya memerlukan waktu 56 hari. Dengan masa tanam yang pendek tersebut, petani pun jelas diuntungkan.

Pasalnya, petani tidak perlu menunggu lama untuk menikmati hasil investasi mereka. Masa tanam yang pendek menjadikan ongkos produksi yang mencakup biaya tenaga kerja, biaya penyiraman, pupuk, dan transportasi menjadi lebih kecil.

“Petani bisa lebih menghemat biaya,” ujar Budi. Saat ini, GMB sedang diuji coba ditanam di beberapa kota, antara lain Sleman, Magetan, Purwokerto, Ciamis, dan Lombok.

Pemilihan kota-kota itu berdasarkan pada pertimbangan keragaman suhu, kelembapan, curah hujan, dan jenis tanah.

Hal itu bertujuan untuk menguji ketangguhan, produktivitas, dan kondisi tanah yang paling cocok bagi GMB. Setelah proses uji coba selesai, GMB akan melalui proses uji sertifi kasi oleh Kementerian Pertanian.

Apabila uji sertifi kasi tersebut lulus, nantinya bibit bisa didistribusikan kepada para petani. Menurut Budi, berdasarkan uji coba pertama di kebun UGM di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, GMB yang dihasilkan berkualitas tinggi. Hasil tersebut tentu saja cukup memuaskan.
hay/L-2
Ditulis  oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

1 komentar: