Rabu, 17 November 2010

Mengonservasi Tumbuhan Langka dengan Skala Prioritas

 Sabtu, 02 Oktober 2010 02:00    
 Penetapan skala prioritas pengonservasian tumbuhan dilakukan sebagai solusi mengatasi keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Dengan demikian, laju kepunahan berbagai flora Indonesia yang mencapai 50 spesies per tahun bisa dikendalikan.

   
         
  Bumi Nusantara sejak dulu dikenal memiliki flora dan fauna yang beraneka ragam. Bahkan, Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat kedua terbesar, setelah Brasil, dalam hal keanekaragaman hayatinya (biodiversity).

Beraneka jenis sumber daya hayati itu merupakan hasil dari proses evolusi jutaan tahun.

Berdasarkan hasil survei World Conservation Monitoring Commitee tahun 1994 dan Badan Perencanaan Pembangungan Nasional (Bappenas) pada 1993, kekayaan sumber daya hayati Indonesia mencakup 27.500 spesies tumbuhan berbunga, 1.539 jenis burung, 515 jenis mamalia, dan 1.539 spesies reptil dan amfibi.

Dengan jumlah itu, bisa dikatakan rata-rata lebih dari 10 persen flora dan fauna dunia hidup di Indonesia. Sayangnya, kekayaan alam itu dari waktu ke waktu semakin terancam keberadaannya.

Kementerian Kehutanan menyebutkan dalam satu tahun, setidaknya ada 50 spesies asli Indonesia yang punah.

Kepunahan itu tidak lepas dari beberapa faktor penyebab, di antaranya eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali, bencana alam, pembalakan liar, konversi lahan tanah, perburuan liar, kebakaran hutan, serta perdagangan.

Bappenas melaporkan 20 hingga 70 persen habitat berbagai flora dan fauna Indonesia mengalami kerusakan.

Menurut Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mustahid, untuk mencegah meluasnya kerusakan lingkungan serta punahnya beraneka jenis hewan dan tumbuhan-tumbuhan asli Indonesia, perlu segera dilakukan upaya konservasi.

Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), terdapat 386 spesies tumbuhan Indonesia yang kini masuk kategori kritis (critical endagared), genting (endangered), dan rawan (vulnerable).

Ke-386 spesies itu berasal dari 44 famili, terutama dari famili Diptercarpaceae atau ramin-raminan. Beberapa spesies tumbuhan yang tergolong famili tersebut antara lain merbau, meranti, kapur, dan ke ruing.

Tukiran Partomiharjo, peneliti dari Pusat Biologi LIPI, menuturkan famili Diptercarpaceae memiliki nilai manfaat tinggi dan hidup di dataran rendah sehingga mudah dieksploitasi.

“Parahnya lagi, datar an rendah dalam undang-undang tidak terma suk kawasan yang dilindungi,” ujar dia. Selain tanaman Dipetercarpacaeae, LIPI kini tengah fokus mengonservasi Thymelaeaceae, yaitu suku tumbuhan penghasil gaharu.

Tumbuhan itu juga mengalami eksploitasi cukup hebat di habitatnya karena dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi. Menurut Mustahid, sebelumnya LIPI memfokuskan diri pada upaya konservasi Arecaceae, Orchidaceae, Nepenthaceae, dan Cyatheaceae yang kesemuanya termasuk tumbuhan berkategori terancam.

Dengan cara konservasi di habitatnya (in situ) dan di luar habitatnya (ex situ), LIPI saat ini berhasil mengoleksi 83 spesies tanaman terancam punah yang tersebar di beberapa kebun raya di Indonesia.

Sayangnya, upaya konservasi terkendala keterbatasan sumber daya manusia, waktu, dan pendanaan. Menurut Harry Wiriadinata, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, untuk mengonservasi satu spesies tanaman saja, dana yang dibutuhkan bisa mencapai lebih dari 50 juta rupiah.

“Dana itu diperlukan untuk ongkos tranportasi, melakukan survei di alam, dan biaya lainnya,” katanya. Agar konservasi tetap dapat dilakukan di tengah-tengah keterbatasan tersebut, LIPI pun memilih langkah prioritas.

Berdasarkan pertimbangan yang diambil lewat panel pakar, dipilihlah berapa spesies yang menjadi prioritas untuk dikonservasi. Rosniati Apriani Risna, peneliti ekologi Kebun Raya Bogor LIPI, mengatakan upaya pemilihan prioritas itu menggunakan pendekatan sasaran spesies dan kawasan atau ekosistem.

Sesuai Wilayah Konservasi yang mengikuti metode Molley J dan AM Davis, dua ahli konservasi tumbuhan dari Selandia Baru, diupayakan komprehensif, sederhana, dan spesifik.

Metode itu dianggap sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia yang berupa negara kepulauan yang luas, memiliki ke anekaragaman hayati tinggi, tekan an tinggi, dan sumber daya manusia yang terbatas.

Metode tersebut mempertimbangkan kriteria, keunikan taksono mi, distribusi geografis, jumlah populasi, ukuran populasi rata - rata, ukuran populasi terbesar, kondisi populasi terbesar, serta ting kat kemerosotan populasi.

Fak tor lain yang dipertimbangkan ialah perlindungan legal di habitat, perlindungan ex situ, laju kehilangan habitat, dampak predator atau eksploitasi, kompetisi, faktor yang memengaruhi kerusakan habitat dan penyakit, spesifikasi habitat, reproduksi, potensi propagasi, dan nilai manfaat.

Kriteria itu masing-masing memiliki lima poin penjabaran dan tidak diurutkan berdasarkan nilai. Misalnya, kondisi populasi terbesar penjabarannya sangat mengkhawatirkan, mengkhawatirkan, marginal, sedang, dan sehat. Nilai manfaat merupakan suatu tambahan.

Kriteria manfaat dimasukkan karena selama ini kepunahan terjadi pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi tinggi. Metode Molley dan Davis serta IUCN tidak mencantumkan kriteria manfaat untuk melakukan cara scoring.

Namun, kata Didik Widyatmoko, peneliti dari UPT Kebun Raya Cibodas, LIPI kemudian mencoba memasukkan kriteria itu karena laju kepunahan terjadi pada spesies yang memiliki manfaat tinggi bagi manusia.

“Meski demikian, memang disadari bahwa banyak spesies yang penting dan belum diketahui manfaatnya akibat kurangnya penelitian,” tutur Didik. Sebanyak 17 kriteria itu selanjutnya dipakai untuk menentukan jumlah skor dalam proses scoring dengan menggunakan lembar uji.

Di panel pakar yang terdiri dari peneliti, akademisi, dan praktisi spesies, kriteria itu kemudian di-check list. Perbedaan hasil scoring selanjut nya didiskusikan bersama mengingat hasil tersebut belum final dan masih perlu pertimbangan pakar yang mengerti benar seluk-beluk spesies.

Langkah berikutnya, para pakar akan menilai secara bersamasama. Setelah hasil scoring diperoleh, selanjutnya adalah interpretasi dengan membuat kategori A (50 ke atas), B (42-50), C (di bawah 42).

Kategori A merupakan spesies dengan prioritas tertinggi dan kategori B merupakan spesies dengan prioritas kedua serta pelaksanaan konservasi pada spesies-spesies yang termasuk kategori itu bisa ditunda.

Sementara itu, kategori C merupakan spesies dengan prioritas ketiga yang tidak memerlukan aksi konservasi secara aktif. Hasil scoring lalu dimasukkan ke perangkat lunak Delphi untuk dihitung.

Perangkat lunak itu telah disesuaikan dengan lembar uji sehingga kriteria yang digunakan dalam proses scoring menghasilkan data sesuai dengan kategori yang ingin diperoleh.

Proses tersebut bermanfaat dalam membantu interpretasi bagi da tabase skala prioritas konservasi. Hasil proses itu kemudian dipakai untuk menyusun buku tentang spesies prioritas yang harus segera dikon servasi.

Dengan demikian, laju kepunahan sumber kekayaan alam tersebut pun dapat segera direm.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar