Rabu, 17 November 2010

Mempercepat Pertumbuhan Mikroalga dengan Nanoteknologi

   
     
  Jumat, 03 September 2010 02:00    
     
     

Selama ini pemanfaatan mikroalga sebagai bahan baku biofuel masih terkendala dari sisi produksi. Untuk mempercepat pertumbuhan mikroalga dilakukan budi daya dengan menggunakan bioreaktor.

   
         
  Ketika dunia dilanda krisis bahan bakar minyak dan perubahan iklim global, penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) dipandang sebagai suatu solusi yang cukup efektif.

Pasalnya, selain mampu berperan sebagai sumber energi terbarukan, biofuel juga lebih ramah lingkungan. Meski memiliki kelebihan, penggunaan bahan bakar dari tanam-tanaman seperti jagung, padi, dan ketela tidak berarti mengandung kelemahan.

Apabila tanaman-tanaman itu dijadikan bahan baku biofuel, maka dikhawatirkan pasokan bahan pangan akan berkurang drastis. Pasalnya, tanaman-tanaman itu termasuk ke dalam golongan tanaman pangan sumber konsumsi manusia.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi berkurangnya tanaman pangan karena digunakan untuk keperluan biofuel, maka perlu dicari bahan baku biofuel lain yang ber asal dari tanaman nonpa ngan (non-edible).

Para ahli terus melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan sumber biofuel nonpangan tersebut, semisal penggunaan tangkai gandum dan tangkai jagung. Dalam perkembangannya, penemuan sumber biofuel itu akhirnya tertuju pada mikroalga.

Berbagai studi menunjukkan bahwa mikroalga merupakan sumber minyak yang potensial. Di perairan alami, baik laut maupun perairan darat, alga banyak tumbuh terutama di bagian permukaan.

Hal itu disebabkan mikroalga memerlukan cukup sinar untuk melakukan fotosintetis. Berdasarkan alasan itulah, beberapa peneliti biofuel merancang reaktor vertikal yang tidak banyak memakan tempat.

Dengan menggunakan reaktor vertikal itu, luasan ruang yang diperlukan kecil, namun permukaan air yang diperoleh cukup luas. Alhasil, volume alga yang dikembangbiakkan pun menjadi lebih besar.

Pengembangbiakan mikroalga selain bermanfaat untuk menghasilkan bahan baku biofuel juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan. Pasalnya, di dalam reaktor mikroalga menyerap karbondioksida (CO2) dalam jumlah banyak.

Seperti lazim diketahui gas karbondioksida merupakan gas buang yang memicu pemanasan global. Jadi, bisa disimpulkan budi daya mikroalga memiliki manfaat ganda, yaitu menghasilkan minyak nabati sekaligus mengurangi pemanasan global.

Namun persoalannya, agar dapat menjadi sumber bahan bakar nabati dalam skala produksi massal, perlu suatu upaya mempercepat perkembangan mikroalga.

Untungnya, persoalan tersebut berhasil dipecahkan oleh Radhakrishna Surehkumar, guru besar di jurusan teknik kimia dan LC Smith, profesor ilmu komputer, keduanya dari Universitas Syracuse New York, Amerika Serikat (AS).

Bantuan Nanoteknologi

Seperti dilansir laman Science Daily edisi Agustus 2010, kedua pakar itu menemukan cara terbaru dalam mempercepat pertumbuhan mikroalga. Surehkumar dan Smith menggunakan bantuan teknologi nano untuk mempercepat pertumbuhan mikroalga secara lebih efisien.

“Kami memanfaatkan partikel skala nano dari bahan perak,” jelas Smith mengenai laporan yang dipublikasikan di jurnal Nature itu. Sebagai langkah awal, kedua ilmuwan itu memanipulasi partikel cahaya dengan alat berbahan dasar partikel skala nano dari perak.

Cahaya Matahari yang telah dimanipulasi itu lalu digunakan untuk membantu proses fotosintesis secara lebih cepat. Fotosintesis adalah proses biokimia pembentukan zat makanan atau energi berupa glukosa yang dilakukan tanaman, alga, dan beberapa jenis bakteri.

Proses itu melibatkan zat hara, karbondioksida, dan air, serta energi yang berasal dari sinar Matahari. Cahaya biru dari Matahari kemudian diseleksi lewat alat bioreaktor.

Melalui kombinasi cahaya dan konfi gurasi bioreaktor ditambah sentuhan teknologi nano, mikroalga mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan alga dari kelompok kontrol yang tentu saja dibiarkan tumbuh alami tanpa intervensi teknologi.

Dalam mempercepat pertumbuhan alga tersebut, Surehkumar dan tim membuat alat bioreaktor mini. Mereka juga membuat green house untuk memaksimalkan cahaya Matahari dan membuat sistem suhu berada pada kisaran 25 derajat celsius.

Green house berfungsi untuk memaksimalkan cahaya yang masuk dan menjadikan suhu tidak terlalu panas. Pada tahap selanjutnya, di bawah green house diletakkan cawan petri yang berisi mikroalga hijau (Chlamydomonas reinhardtii).

Ada pula cawan petri lainnya yang berisi partikel nano dari bahan perak. Bahan nano partikel dari perak berfungsi mena burkan cahaya biru ke dalam kultur alga.

Melalui serangkaian eksperimen, tim menemukan teori bahwa dengan memvariasikan konsentrasi dan ukuran solusi partikel nano, mereka bisa memanipulasi intensitas dan frekuensi sumber cahaya.

Alhasil, panjang gelombang yang optimal untuk pertumbuhan mikroalga pun dapat tercapai. “Aplikasi penyebaran dari panjang gelombang cahaya pada skala yang lebih besar memang masih menghadapi tantangan.

Namun, cara ini dapat membuat panen lebih efisien, selain itu dapat pula mengurangi pertumbuhan parasit yang merugikan,” papar Surehkumar.

Inovasi yang dikembangkan Surehkumar dan Smith dengan memanfaatkan teknologi nano itu merupakan inovasi pertama yang berkaitan dengan upaya mempercepat pertumbuhan alga sebagai bahan baku biofuel.

Ke depannya, kata Surehkumar, dia berharap bioreaktor yang dibuatnya itu dapat pula berguna sebagai sensor lingkungan. Perangkat tersebut bertindak layaknya sistem peringatan dini ekologis.

Dengan menganalisis data dari sensor lingkungan itu, bencana yang terjadi di lingkungan perairan pun bisa ditanggulangi sejak dini.
hay/L-2
Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta




1 komentar:

  1. selamat siang,
    pak haryo apa boleh kami minta jurnal b.inggrisnya terkait materi ini untuk bahan skripsi
    trimakasih

    BalasHapus