Rabu, 17 November 2010

Toilet Kering Kurangi Pencemaran Lingkungan

 04 September 2009

Penggunaan serbuk kayu pada toilet kering membuat bakteri alami hidup dan mampu mendegradasi kotoran. Sifat serbuk kayu yang mampu menangkap udara membuat proses pembusukan tidak menimbulkan bau.

Di tengah fenomena kelangkaan air bersih yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, upaya penghematan air tentu perlu dilakukan.

Segala aktivitas yang membutuhkan air bersih sejatinya patut dilakukan dengan bijaksana agar di masa-masa mendatang air bersih tetap tersedia.

Memang ada aktivitas yang mutlak membutuhkan air bersih dan tak bisa begitu saja dikurangi, seperti memasak atau mencuci perabotan dapur.

Namun, ada juga aktivitas lain yang membutuhkan air bersih, tetapi penggunaannya dapat ditoleransi, yaitu mandi-cuci-kakus (MCK).

Menurut Dr Neni Sintawardani, peneliti sanitasi pada Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), berdasarkan data di negara-negara maju, penggunaan air bersih rata-rata mencapai 200 liter per hari per orang.

Sedangkan di Indonesia, penggunaannya berkisar 125 hingga 150 liter per hari per orang.

Berdasarkan survei kualitatif yang dilakukan di Kiaracondong, Bandung, pada 2005, Neni mendapatkan perilaku tidak hemat air yang dilakukan penduduk di daerah kumuh itu. Mereka menghabiskan air rata-rata 89 liter per hari per orang.

Penggunaan air paling banyak dilakukan untuk keperluan buang air besar dan kecil yang masing-masing membutuhkan 25 dan 11 liter per hari per orang.

Sisanya untuk mencuci, membersihkan perabotan dapur, menyiram tanaman, dan memasak.

Celakanya, air yang digunakan masyarakat bukan air bersih sehingga untuk kebersihan air bersih mereka harus membeli.

Di beberapa daerah kantong kemiskinan, masyarakat banyak menghabiskan air untuk keperluan MCK. Air ini mereka beli dengan harga mahal dari pedagang air keliling.

Beberapa daerah di kantong kemiskinan masyarakat, seperti Kapuk Muara, Jakarta Utara, air bersih dijual seharga 1.500 hingga 2.000 rupiah per jerigen isi 20 liter.

Maka, bisa dibayangkan jika air tersebut juga digunakan untuk kebutuhan selain makan, minum, dan masak. ”Masyarakat miskin malah membeli dengan harga mahal daripada orang kaya,” ujarnya.

Di tengah krisis air bersih dan krisis energi dunia, upaya-upaya penghematan air mutlak dilakukan. Namun tentunya, masalah sanitasi dan kesehatan tidak dikesampingkan.

Dan sebagai salah satu penyumbang terbesar penggunaan air, keperluan MCK sebaiknya dikurangi tanpa harus mengurangi kualitas kesehatan masyarakat.

Neni mengatakan salah satu cara untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan adalah dengan mengubah kebiasaan yang kurang sehat dan melakukan kegiatan hemat air.

Dengan kebiasaan bersih, aka kualitas hidup akan meningkat. Dan untuk memulai kebiasaan bersih, masyarakat harus dikenalkan dengan teknologi sederhana yang ramah lingkungan dan higienis.

Toilet Kering

Untuk memulai prioritas hidup sehat hemat air, Neni mencoba memperkenalkan inovasi toilet kering.

Bersama tim dari LIPI, doktor teknik lingkungan lulusan Jerman ini merancang toilet sederhana yang hemat air dan tetap higienis.

Menurutnya, ketimbang mempertahankan toilet konvensional yang boros air, jenis toilet alternatif yang hemat air dan tidak berbau bisa dikembangkan.

Toilet ini nantinya cocok digunakan di daerah-daerah kering di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Pacitan (Jawa Timur).

Ide toilet kering mengambil dari konsep cubluk yang merupakan kakus khas perdesaan di Jawa. Cubluk dulu dikenal sebagai sarana masyarakat Jawa membuang hajat.

Mereka membuat lubang dengan ukuran tertentu sambil menggali tanah lebih dalam sebagai tempat tinja.

Cubluk yang kering dinilai menghemat penggunaan air karena tidak ada air yang masuk ke penampungan.

Namun dari segi kebersihan, tidak menguntungkan karena tinja tidak terurai dengan baik dan menimbulkan bau.

Berbeda dengan cubluk, toilet kering ini mampu mengurai 60 persen kotoran manusia dalam satu hari. Kelebihan lainnya, toilet kering ini tidak menebarkan bau seperti lubang septic tank.

Manfaat lain toilet kering adalah mampu menghemat biaya, mencegah pencemaran lingkungan, tidak memerlukan pemipaan, dan mengurangi biaya instalasi.

Pada prinsipnya, ada empat hal yang harus disiapkan untuk membuat toilet kering, yaitu lubang tinja dan kotak penampungan tinja, alat pengaduk, serbuk kayu, dan pipa aliran udara.

Kotak tinja yang terbuat dari keramik digunakan sebagai tempat jongkok. Ukuran ruang penampungan disesuaikan dengan kebutuhan sebagai tempat degradasi kotoran. Sedangkan pipa udara digunakan sebagai gas buang sekaligus membantu kondisi aerobik (proses yang melibatkan udara) dalam proses degradasi tinja.

Setelah dipakai untuk membuang kotoran, alat pengaduk yang digerakkan dengan mesin dan motor dengan kekuatan tertentu diaktifkan.

Saat itu, tinja akan bercampur dengan serbuk kayu. “Para pemakai biasanya merasakan panas. Ini karena ada proses degradasi bakteri di bawahnya,” terang Neni.

Serbuk kayu digunakan karena bahan ini mengandung selulosa. Bahan ini memiliki sifat menyerap. Secara mikroskopis, serbuk kayu yang berpori-pori membuatnya mampu menangkap materi seperti oksigen (O2) dan air (H2O).

Hasil studi menunjukkan serbuk kayu dapat menyimpan udara sebanyak 50 persen, menyerap padatan hingga 10-15 persen, dan menahan air 35-40 persen.

Campuran serbuk kayu dan tinja tidak memerlukan bakteri tambahan sebagai pengurai. Bakteri alami yang ada sudah mampu mendegradasi kotoran.

Selain mendegradasi kotoran, bakteri ini menguapkan karbondioksida (CO2) dan H2O ke udara. Bahan bermateri padat seperti mineral, nitrogen, fosfat, dan sejenisnya tetap tertinggal di dalam tanah.

“Setelah empat hingga enam bulan, campuran tinja dan serbuk kayu dapat dipanen.

Hasil panenan ini berupa kompos yang dapat digunakan untuk pemupukan tanaman,” ujarnya.

Saat ini, Neni telah menguji coba beberapa tipe dengan ukuran yang berbeda. Ada tipe 50 untuk 40 orang, tipe 15 untuk 10-15 orang, dan tipe 5 untuk satu keluarga kecil terdiri dari ayah ibu dan dua orang anak.

Tipe-tipe ini telah terpasang di Kiaracondong, Pesatren Daarut Tauhid Bandung, dan sebuah SD dekat Puspiptek Serpong, Tangerang.

Saat ini, Neni bersama timnya sedang melakukan desain ulang yang terkait masalah estetika demi memenuhi syarat untuk kelas menengah.

Dengan modifikasi menyerupai toilet modern, diharapkan toilet kering ini akan menarik perhatian kelas menengah.

Bahkan sebuah hotel di Bali sudah menyatakan tertarik pada penemuannya. Hotel tersebut, menurut Neni, berusaha menjaring wisatawan mancanegara yang sudah sadar lingkungan.

“Wisatawan mancanegara banyak yang peduli lingkungan sehingga menjadi target market,” katanya. (hay/L-4)

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar