Rabu, 17 November 2010

Mewarnai Batik dengan Indigofera



Selasa, 20 Juli 2010


Gairah untuk mengenakan pakaian bermotif batik belakangan ini semakin meningkat. Tidak hanya orang tua, kain tradisional yang merupakan warisan budaya Nusantara itu kini lazim pula dikenakan anakanak muda, baik pada acara formal maupun nonformal.

Coraknya yang beraneka rupa serta warna yang bermacam-macam menjadikan batik terkesan sangat menarik. Namun, di balik keindahan itu, industri batik ternyata menghasilkan dampak negatif berupa limbah yang bisa merusak lingkungan.

Limbah tersebut terutama berasal dari proses pewarnaan batik yang masih menggunakan pewarna sintesis naptol, remasol, indigosol, dan sejenisnya. Pewarna-pewarna berbahan kimia itu tergolong tidak ramah lingkungan.

Apabila mengalir ke dalam tanah, bahan-bahan itu bisa merusak ekosistem tanah. Pasalnya, bakteri tanah tidak mampu mendegradasi bahanbahan kimia tersebut. Bukan hanya itu, jika masuk ke tubuh, bahan-bahan yang bersifat karsinogenik itu akan membahayakan kesehatan manusia.

Selain berbahaya bagi manusia, bahan pewarna naptol dan indigisol bisa mengakibatkan organisme dalam air akan mati. Hal itu disebabkan bahan pewarna tersebut dapat mengubah nilai biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) dalam air.

Kandungan oksigen (O2) yang notabene diperlukan organisme air akan menurun jika limbah pewarna masuk ke air.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kun Lestari WF, Rini Purwani Hajari, dan Hendri Supranto dari Balai Besar Industri Kerajinan Batik, Yogyakarta, bahan pewarna indigosol memunyai nilai BOD5 3.053 miligram per liter dan COD 10.230 miligram per liter.

Sementara itu, nilai BOD5 naptol mencapai 5.411 miligram per liter, dan COD 19.921 miligram per liter.

Pengertian BOD5 ialah jumlah oksigen yang diperlukan selama lima hari oleh organisme dalam proses degradasi, sedangkan COD merupakan kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air oleh bakteri.

Jika air memiliki nilai BOD kurang dari 1 miligram per liter atau 1 part per million (ppm), dan BOD di atas 4 ppm sudah dikatakan tercemar, jelas bahwa limbah batik cukup tinggi nilai pencemarannya terhadap lingkungan karena angkanya di atas 3 miligram per liter.

Menurut Edia Rahayuningsih, pengajar pada Jurusan Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, meski bahan naptol telah dilarang digunakan sejak 1996, para perajin batik masih saja menggunakan pewarna tersebut lantaran murah, praktis, dan lebih cerah.

Agar hasil pembuatan batik tidak terlalu mencemari lingkungan dan membahayakan manusia, bahan pewarna sintetis itu harus diganti dengan pewarna dari alam.

Pengganti Biru Edia pun lantas meneliti tanaman indigofera sebagai bahan pewarna pengganti naptol.

Dulu, tanaman tersebut pernah terkenal sebagai pewarna indigo. Hasil penelitian Edia menunjukkan marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru pada pewarna non-alami.

Zat warna pada indigofera yang berupa serbuk dan diberi nama Gama Blue ND (Gadjah Mada Blue Natural Dye) itu dihasilkan melalui teknik modern.

Selain penggunaannya praktis, zat warna yang dihasilkan tanaman indigofera lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan zat warna yang diproduksi dengan cara tradisional.

Menurut Edia yang meraih gelar doktor kimia dari UGM itu, kadar warna biru dari serbuk yang dihasilkan memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa kadarnya hanya 15 persen. Apabila untuk mendapatkan warna dengan kecerahan sama pewarna indigofera dari proses tradisional memerlukan 30 sampai 40 kali pencelupan, dengan proses yang dikembangkan Edia, hanya memerlukan 3 sampai 6 kali pencelupan.

“Bagi para perajin batik, efisiensi proses cukup berarti,” ujarnya. Untuk menghasilkan mutu perwarna biru dengan kualitas tinggi itu, Edia menjalankan beberapa proses.

Sebagai langkah awal, dia memilih daun indigofera berumur 5 sampai 6 bulan yang dianggap tua. Daun tua biasanya berwarna hijau kebirubiruan dengan biji berwarna cokelat kehitam-hitaman.

Proses berikutnya adalah perendaman di bak selama beberapa waktu, kemudian dilakukan proses hidrolisis, yaitu penguraian zat warna berupa glukosa indikan. Enzim akan mengubah indikan menjadi indisil dan glukosa.

Proses itu akan menghasilkan warna nila putih. Agar menghasilkan nila biru (indigo), langkah selanjutnya yang harus ditempuh ialah melakukan oksidasi di dalam bak aerator selama sekitar 12 jam.

Di bak, materi cair itu diaduk hingga tidak berbuih lagi. Cairan yang tidak berbuih lagi biasanya akan berwarna kecokelatan. Selanjutnya, cairan itu ditampung di dalam bak sedimentasi selama 3 sampai 4 jam.

Air di bagian atas yang berwarna kecokelatan kemudian dibuang. Di bagian bawah terdapat endapan yang merupakan hasil pengendapan bahan pewarna biru dari indigofera.

Untuk mendapatkan bahan warna berupa serbuk, endapan dipanaskan hingga kering. Sedangkan untuk bahan dalam bentuk pasta, endapan zat warna cukup dipanaskan hingga mengental.

“Tetapi, bentuk pasta kurang tahan lama dalam penyimpanan dan mudah rusak karena tumbuh jamur,” papar Edia. Dia menambahkan rendemen daun indigofera terbilang kecil.

Dari 250 kilogram daun basah yang diproses, hanya diperoleh 1 kilogram serbuk warna atau 0,4 persen. Tidak heran apabila harga pewarna alami menjadi tinggi atau berkisar 750 ribu rupiah per kilogramnya.

Keuntungan para perajin pun lebih sedikit jika harus menggunakan pewarna dari tanaman indigofera itu. Berbeda halnya jika mereka menggunakan pewarna naptol yang harganya hanya sekitar 50 ribu rupiah per kilogram.

Edia mengatakan dirinya tidak menyangkal kalau dilihat dari segi harga, bahan pewarna alami tidak dapat bersaing. Namun, jika dibandingkan dari sisi kualitas, warna alami indigo lebih lembut dan tahan lama.

“Hasil pewarnaan bahan sintetis lebih tajam, berbeda halnya dengan warna alami yang terlihat lembut, tetapi dari segi pamor secara keseluruhan warna alami jelas lebih cantik.”

Beberapa waktu lalu, perempuan yang banyak meneliti tentang pencemaran tersebut telah melakukan sosialisasi agar semakin banyak petani yang turut menanam indigofera demi menekan harga.

Hasilnya, kini, ada beberapa petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang bersedia menanam tanaman tersebut karena mengetahui besarnya keuntungan yang bisa diperoleh.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta


   
     
 

1 komentar:

  1. Apabila Anda mempunyai kesulitan dalam pemakaian / penggunaan chemical , atau yang berhubungan dengan chemical,oli industri, jangan sungkan untuk menghubungi, kami akan memberikan konsultasi kepada Anda mengenai masalah yang berhubungan dengan chemical.

    Salam,
    (Tommy.k)
    WA:081310849918
    Email: Tommy.transcal@gmail.com
    Management

    OUR SERVICE
    Boiler Chemical Cleaning
    Cooling tower Chemical Cleaning
    Chiller Chemical Cleaning
    AHU, Condensor Chemical Cleaning
    Chemical Maintenance
    Waste Water Treatment Plant Industrial & Domestic (WTP/WWTP/STP)
    Degreaser & Floor Cleaner Plant
    Oli industri
    Rust remover
    Coal & feul oil additive
    Cleaning Chemical
    Lubricant
    Other Chemical
    RO Chemical

    BalasHapus