Rabu, 17 November 2010

Mutasi “Plasmodium” Kurangi Sensitivitas Obat Malaria

     
  Jumat, 18 Juni 2010 02:00    
     
     

Mutasi mengakibatkan Plasmodium penyebab penyakit malaria lebih resisten terhadap obat. Diperlukan obat baru yang bisa mengatasi serangan Plasmodium yang telah bermutasi tersebut.

   
         
  Malaria merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara-negara tropis, termasuk Indonesia.

Penyakit tersebut termasuk berbahaya karena sering kali menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (The Household Survey) yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO), pada 2001 diketahui 38 ribu orang meninggal setiap tahunnya akibat terserang penyakit malaria.

Tercatat pula setiap 30 detik satu bayi atau anak meninggal dunia akibat terserang malaria.

Di Indonesia, penyakit malaria diperkirakan menginfeksi sekitar 15 juta orang setiap tahunnya.

Pada umumnya, mereka yang terserang malaria akan mengalami penurunan produktivitas.

Penderita tidak akan dapat bekerja dalam jangka waktu 5 sampai 14 hari selama masa pengobatan.

Berdasarkan hasil penemuan Charles Louis Aplphone, penyakit malaria disebabkan oleh serangan protozoa atau parasit Plasmodium.

Parasit itu hidup bersama inangnya, nyamuk Anopheles dan hewan vertebrata (bertulang belakang).

Parasit tersebut tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan. Beberapa hewan yang juga bisa terjangkiti malaria antara lain kera, burung, jenis reptil, dan hewan pengerat.

Astutiati Nurhasanah, peneliti dari Pusat Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menjelaskan beberapa Plasmodium yang dulu hanya mejangkiti hewan kini dapat pula menyerang manusia.

Hasil penelitian tahun 2008 menunjukkan bahwa Plasmodium knowlesi telah menjangkiti sebagian masyarakat di negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia.

“Pada 2008 diketahui Plasmodium knowlesi telah menginfeksi pula manusia,” katanya.

Astutiati menambahkan Plasmodium yang merupakan organisme berukuran kecil bisa berkembang dan berubah melalui mutasi seleksi dan adaptasi.

Organisme itu juga resisten terhadap obat tertentu.

Buktinya, ketika seorang penderita malaria diberi obat malaria, tingkat sensitivitasnya terhadap obat tersebut menurun.

Pada 1970, misalnya, Plasmodium falciparum yang merupakan penyebab penyakit malaria cerebral dapat diobati dengan obat jenis cloro dan klorokuin.

Namun, Plasmodium falciparum lamakelamaan mulai resisten terhadap kedua obat itu.

Hasil penelitian Astutiati menunjukkan parasit itu memililiki tingkat sensitivitas yang menurun terhadap quinine atau kinin.

Kinin merupakan zat alkaloid dari kulit pohon kina yang sejak dulu dikenal dapat dipakai untuk mengobati malaria.

Sebelumnya, WHO pernah melarang penggunaan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.

Pertimbangannya, kinin bisa mengakibatkan efek samping berupa gangguan pendengaran, sakit perut, mual, dan pusing yang dirasakan pasien.

Sebagai gantinya, WHO merekomendasikan pemberian klorokuin dan pyrimethanmine yang berasal dari bahan sintetis.

Kombinasi klorokuin, pamaquine, quinacrine (atebrine), serta sulfadoksin dengan pyrimethamin, primaquine, doxycycline, artemisin, dan turunan nya dianggap bisa menggantikan fungsi kinin.

Resistensi Meningkat

Sayangnya, Plasmodium falciparum belakangan resisten terhadap obat-obatan tersebut.

Oleh karena itu, WHO pun kini menganjurkan para dokter untuk kembali menggunakan kinin sebagai obat penyembuh penyakit malaria, khususnya malaria cerebral, meskipun dengan risiko ada efek samping bagi pasien.

Pengobatan terhadap pasien penderita penyakit malaria cerebral harus segera dilakukan.

Pasalnya, penyakit itu dinilai sangat berbahaya karena menyerang otak. Ketika terserang Plasmodium falciparum, otak akan mengalami kelumpuhan, dan hal tersebut berisiko menyebabkan kematian.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui penurunan tingkat sensitivitas Plasmodium falciparum disebabkan oleh keluarnya beberapa target makanan atau vakola dari semacam membran parasit tersebut.

Target berupa vakola mengalami mutasi dan keluar dari wilyahnya.

“Keluarnya vakola lantaran adanya perubahan dalam muatan ionnya,” papar Astutiati.

Pada kondisi normal, asam amino gen K76T memiliki muatan positif dan netral.

Asam amino K, yaitu lysine, bermuatan positif, sementara asam amino T, yaitu threonine, bermuatan netral.

Keluarnya vakola dari wilayahnya karena asam amino threonine yang bermuatan netral berubah menjadi positif.

Akibatnya, vakola satu per satu keluar dari membran karena adanya gaya tolak-menolak antarkutub positif tersebut.

Kondisi itu mengakibatkan obat yang selama ini ditargetkan pada vakola makanan menjadi tidak tepat.

Alhasil, obat malaria, termasuk kinin, tidak dapat mencapai target yang ditetapkan.

Astutiati mengatakan ketika vakola makanan berada di luar, kinin tidak dapat membunuhnya.

Penyandang gelar doktor dari Universitas Heidelberg, Jerman, itu menambahkan adanya mutasi yang terjadi pada Plasmodium bisa menghambat upaya pemberantasan penyakit malaria.

Menanggapi perihal mutasi tersebut, Abdul Salam, ahli genetika dari Universitas YARSI, Jakarta, menjelaskan sebenarnya manusia, khususnya yang hidup di daerah tropis, telah mengalami mutasi untuk menghadapi serangan Plasmodium tersebut.

Lewat prosedur mutasi, seleksi, adaptasi, dan kembali ke mutasi lagi dan seterusnya, manusia akan berusaha bertahan terhadap serangan malaria.

Pada masyarakat di kawasan Asia Tenggara, dikenal istilah South East Asian Ovalocytosis, yaitu kemampuan menghadapi serangan Plasmodium penyebab penyakit malaria.

Beberapa orang di Asia Tenggara memiliki sel darah merah berbentuk lonjong, bukan bulat.

Menurut hasil penelitian, sel darah merah berbentuk lonjong yang dikenal dengan sebutan ovalocytosis itu terbukti tahan terhadap serangan penyakit malaria.

Meski tahan terhadap serangan malaria, sel darah tersebut memiliki kele mahan, yakni mudah terkena anemia.

Anemia ialah suatu kondisi saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel da rah merah berada di bawah normal.

Astutiati mengatakan saat ini belum diketahui dengan pasti mekanisme kerja Plasmodium falciparum yang mengakibatkan terjadinya perubahan muatan ion.

Namun, dia menduga hal itu berkaitan dengan sistem transportasi kinin ke dalam vakola.

Oleh karena itu, menurutnya, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sistem transportasi tersebut.

Lebih lanjut, Astutiati mengatakan sebenarnya sekarang ini obat sintetis dapat digunakan untuk mengobati penyakit malaria cerebral.

Namun, harga obat itu masih terbilang mahal sehingga sulit dijangkau masyarakat umum.

Padahal, mereka yang terjangkit penyakit malaria umumnya tinggal di daerah pelosok yang kehidupan perekonomiannya terbilang sulit.
hay/L-2

Ditulis oleh Haryo Brono/Koran Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar